Minggu, 22 November 2015

Ni Pollok, Seniwati Bali Tempo Doeloe

NI POLLOK Seniwati Bali, Yang Memiliki Andil Cukup Besar Bagi Pertumbuhan Dunia Pariwisata Bali. Kisahnya bermula dari momen tahun 30-an, saat ia menari legong. Satu di antara penontonnya adalah pelukis asal Belgia, LE MAYEUR.  Kisah selanjutnya bak roman pujangga, Le Mayeur berkenalan dengan Ni Pollok, kemudian meminta kesediaannya menjadi model untuk dilukis. Gayung bersambut. Maka lahirlah lukisan-lukisan eksotis Le Mayeur. Sosok Ni Pollok tertuang ke dalam kanvas. Begitu natural hingga ke keadaan wanita Bali tahun 30-an yang tidak memakai penutup dada. Le Mayeur kemudian memamerkan karya-karyanya di Singapura tahun 1934.

Di sana, ia menuai sukses besar. Bukan saja semua karyanya terjual, tetapi melalui lukisan Ni Pollok, banyak warga dunia INGIN BERKUNJUNG ke Bali. Sekembali dari Singapura tahun 1935, Le Mayeur melamar dan menikahi Ni Pollok. Dengan uang hasil penjualan lukisan-lukisannya, mereka membangun rumah yang sangat indah di kawasan Sanur.
KISAH KEHIDUPANNYA

Ni Pollok lahir 3 Maret 1917 di rumah bambu beratapkan alang-alang dan berlantaikan tanah di Kelandis. Bocah ini lahir sebagai sudra. Ni Pollok jadi penari Legong-Keraton di usia remaja. Peran sebagai penari membuat harga diri tidak menjadi rendah. Wajah cantik dan tarian jadi mekanisme pengenalan dan penghormatan orang terhadap Ni Pollok.

Seorang pelukis dari BELGIA bernama ADRIEN JEAN LE MAYEUR DE MERPRES datang ke Bali, kemudian meminta Ni Pollok untuk jadi model lukisan.Le Mayeur mengajari Ni Pollok membaca dan menulis. Ni Pollok juga dilatih bicara dengan bahasa-bahasa asing. Humanisme telah menjalar melalui sosok pelukis Belgia: membuka peta hidup pada seorang perempuan Bali dengan perangkat bahasa dan laku hidup beraroma kosmopolitanisme. Ni Pollok beranjak dewasa. Le Mayeur mengajari Ni Pollok untuk tahu dan bisa mengenakan BH sebagai perangkat pakaian orang modern saat itu. Tuan Le Mayeur membelikan BH dengan merek-merek : mereprentasikan tingkat ekonomi dan kesanggupan mengonstruksi gaya hidup bereferensi Eropa 1935:

Tuan Le Mayeur dan Ni Pollok menikah dengan selisih umur tiga puluh tujuh tahun. Ni Pollok berganti sebutan sebagai Madame Le Mayeur. Namun akibat suaminya “HIDUP UNTUK SENI.” mematikan keinginan Ni Pollok untuk memiliki keturunan. Ni Pollok merasa mendapati dilema: mencintai suami atau memaklumkan diri untuk menimang anak. Seni dan cinta jadi kontradiksi. Untuk menghibur hatinya, suaminya selalu berkata bahwa : “Hidup manusia jadi berharga bukan hanya karena ia mempunyai anak, Pollok, MANUSIA BERHARGA KARENA IA BERGUNA UNTUK SESAMANYA …

(Klik Gambar Memperbesar)






Baca lebih lengkap Riwayat Hidup : Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres

(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Sabtu, 21 November 2015

Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres

Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres lahir di Brusel, 9 Februari 1880 – meninggal di Ixelles, 31 Mei 1958, ialah seorang pelukis dari Belgia. Ia tiba di Singaraja, Bali dengan perahu pada tahun 1932. Lalu ia menetap di Denpasar.  Le Mayeur menyewa sebuah rumah di banjar Kelandis, Denpasar, tempatnya berkenalan dengan penari legong Ni Nyoman Pollok
yang berusia 15 tahun, yang kemudian menjadi model lukisannya. Sejumlah karya Le Mayeur yang menggunakan Ni Pollok sebagai model dipamerkan di Singapura untuk pertama kalinya pada tahun 1933, yang kemudian sukses dan iapun terkenal. Kembali dari Singapore, Le Mayeur membeli sepetak tanah di Pantai Sanur dan membangun rumah.

Di rumah yang menjadi studio ini, Ni Pollok bekerja tiap hari sebagai model bersama 2 sahabatnya. Kecantikan dan kepribadian Ni Pollok membuat Le Mayeur menikmati rumah barunya di Bali. Awalnya, ia hanya akan tinggal selama 8 bulan, namun kemudian ia memutuskan untuk tinggal di pulau itu sampai akhir hayatnya. Setelah 3 tahun bekerja bersama, pada tahun 1935, Le Mayeur dan Ni Pollok menikah. Sepanjang kehidupan pernikahannya, Le Mayeur tetap melukis dengan menggunakan istrinya sebagai model.

Pada tahun 1956, Bahder Djohan, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia saat itu mengunjungi Le Mayeur dan Ni Pollok di rumahnya. Bahder begitu terpesona dengan karya pelukis itu dan kemudian mengusulkan kepada pasangan itu untuk melestarikan rumah mereka dan seisinya sebagai museum. Le Mayeur menyetujui gagasan itu dan sejak itu ia bekerja lebih keras untuk menambah banyak koleksi rumah itu dan menambah kualitas karyanya juga. Akhirnya, impian Le Mayeur menjadi kenyataan ketika pada tanggal 28 Agustus 1957, sebuah testamen ditandatangani, yang isinya adalah bahwa Le Mayeur mewariskan semua miliknya termasuk tanah, rumah, dan seisinya kepada Ni Pollok sebagai hadiah. Di saat yang sama, Ni Pollok kemudian memindahkan semua yang diwarisi dari suaminya kepada Pemerintah Indonesia untuk digunakan sebagai museum.

Pada tahun 1958, Le Mayeur menderita kanker telinga parah, dan ditemani oleh Ni Pollok ia kembali ke Belgia untuk menerima perawatan medis. Setelah 2 bulan di sana, akhirnya Le Mayeur meninggal dunia dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Ixelles/Elsene, Brusel. Ni Pollok kemudian pulang kampung untuk merawat rumahnya yang menjadi museum hingga kematiannya pada tanggal 18 Juli 1985 dalam usia 68 tahun.

Jumat, 20 November 2015

Bung Karno dan Ni Pollok

Diantara tugas dan kegemaran, Bali menjadi ruang yang khusus bagi Presiden Sukarno. Salah satu kekhususan tersebut adalah hubungan antara dia dan Le Mayeur, pelukis dari Belgia yang datang ke Bali sejak 1929. Karya-karya Le Mayeur sendiri
kini menjadi benda yang memiliki nilai tinggi. Kekayaan budaya dan sejarah panjang inilah yang juga turut menjadi perhatian Bung Karno sebagai pemimpin bangsa terhadap Bali. Bung Karno tidak serta merta mengetahui sejarah seni rupa Bali begitu saja, meskipun ia keturunan orang Bali. Menurut penuturan Guruh Sukarno Putra kemampuan dan pengetahuan mengenai Bali salah satunya disumbang oleh rekannya yang juga pecinta seni rupa dan yang pernah diangkat sebagai perdana menterinya, Ali Sastroami djojo dan sejarawan Poebatjaraka.

Sastroamidjojo-lah yang lebih dahulu mengoleksi hasil-hasil budaya Bali. Sangat mungkin dari Sastroamidjojo pulalah beberapa hasil budaya Bali berada di tangan Bung Karno, termasuk beberapa buku mengenai budaya Bali diperoleh darinya.  Setelah mengoleksi sejumlah puluhan karya seni lukis dan patung Bali, Bung Karno lalu mendapat “hadiah” dari pemerintah Republik Rakyat Tiongkok berupa penerbitan buku yang disusun oleh Dullah. Dalam buku yang berjudul Lukisan-Lukisan Koleksi Ir. Dr. Sukarno (empat volume, 1956 dan 1959) dan Ukiran-Ukiran Rakjat Indonesia (1959) inilah banyak karya seni rupa Bali dimuat.

Melacak pengetahuan Sukarno mengenai seni rupa Bali tidak bisa dilepaskan dari buku-buku yang dimilikinya. Ketika meneliti langsung ke perpustakaan Istana Presiden Bogor, saya menjumpai beberapa buku mengenai Bali. Dua buku diantaranya adalah karangan Miguel Covarrubias, Island of Bali (1937) dan R. Goris & P.L. Drongkers, Bali: Atlas Kebudayaan (1953).  Pada dua buku inilah Sukarno memiliki sandaran pengetahuan tentang Bali secara berlimpah ditambah dengan diskusi bersama rekan-rekan seniman maupun pecinta seni lainnya. Sukarno juga tidak melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke studio-studio pelukis.

Berkunjung ke Bali bagi Sukarno bukan saja terasa sebagai kunjungan yang bersifat formal, akan tetapi Sukarno merasa seperti kembali ke rumah. Ingat bahwa Sukarno merupakan anak dari Ida Ayu Srimben, perempuan asli Bali.  Kunjungannya sebagai presiden ke Bali telah dimulai sejak 1950. Berbagai keperluan dilakukannya, salah satunya ketika bertemu dengan para pelukis asing yang telah lama tinggal di Bali, seperti Rudolf Bonnet dan Le Mayeur. Selain Bonnet dan Le Mayeur, Sukarno juga pernah berhubungan dan membeli karya Renato Cristiano, Auke Sonega, Hans Snel, Antonio Blanco, dan Theo Meier.

Antara 15-17 Juni 1950 bersama tamu negara, yang juga rekan dekatnya, Pandit Jawaharlal Nehru, Sukarno mengunjunginya. Pada pertemuan ini Bung Karno membawa rombongan sejumlah 40 mobil. Harian Chairns Post 16 Juni 1950 melaporkan bahwa Bung Karno menembus malam berkonvoi mengunjungi studio Le Mayeur. Pertemuan antara Sukarno dan Le Mayeur dilanjutkan atau terjadi pada bulan November 1950. Sebelum pertemuan bulan November ini Sukarno sempat berkirim surat bertulis tangan yang meminta bantuan Mayeur agar Dullah bisa belajar di studionya di Sanur. Surat Sukarno kepada Le Mayeur ini kini menjadi dokumentasi dan bagian dari sajian koleksi di Museum Pasifika Bali.

Dalam surat tersebut, Bung Karno menulis sebagai berikut.

“Jth Tuan Le Mayeur dan Njonjah di Sanur//Tuan dan Njonjah yang baik,//Pembawa surat ini adalah Dullah. Ia adalah seorang pelukis yang ternama dan jang berdiri dibawah patronage saja. Saja harap Tuan dan Njonjah suka memberi bantuan-bantuan petundjuk kepadanja, agar supaja ia dapat mempergunakan waktunja diBali ini dengan sebaik-baiknja.//Saja sendiri bermaksud datang di Bali nanti pada 10 November j.a.d., dan ingin sekali bertemu dengan Tuan dan Njonjah di sanur. Surat Tuan tempohari sudah saja terima, dan amat menggembirakan saja.//Terimalah salamku//Jakarta 30/09/1950”.

Dalam surat ini tersirat bahwa kedekatan antara Bung Karno dan Mayeur begitu erat. Melalui surat ini tergambar bahwa hubungan antara seorang presiden--sebagai penggemar lukisan--dengan pelukis tampak begitu saling menghormati, meskipun tampak masih formal. Kini, surat penting ini menjadi koleksi tetap pada Museum Pasifika di Nusa Dua, Bali. Jika Anda ke Bali, pastikan menonton surat ini.  Dari hubungan ini Bung Karno “mendapatkan” 4 karya dari Le Mayeur. Semuanya didapatkan diantara beberapa kunjungan Sukarno ke studio Le Mayeur. Lukisan yang dikoleksi Sukarno berjudul Di Tepi Sungai Gangga (1921) sebuah karya berbasis cat air pada kertas dan tiga lukisan cat minyak berukuran “kembar” 150x200 cm berjudul Bermain di Kolam (1950an) dan Kenikmatan Hidup I dan II (dua lukisan berjudul yang sama kemungkinan dikerjakan pada 1956). Semua lukisan ini masuk dalam Buku Koleksi versi Dullah edisi I & III.

Kunjungan Bung Karno ke Sanur sempat menjadi topik pembicaraan di internal mereka, antara Mayeur-Pollok. Mereka mengungkapkan perihal celana pendek yang selalu dipakai oleh Mayeur pada saat Bung Karno berkunjung pada tahun 1950 tersebut. Mayeur sendiri memang pelukis yang selalu tampil dengan celana pendek dan berbaju komprang. Dalam foto tampak Mayeur berjalan tanpa sandal alias telanjang kaki tengah bersama Bung Karno yang tampak gagah dan maskulin.  Pollok akhirnya mengetahui bahwa Bung Karno tidak memasalahkan hal itu. Buktinya pada 22-26 November 1951 dan 1952 sang Presiden berkunjung lagi ke sana. Kedatangannya ke studio ini tertera pada dokumentasi foto yang diberikan oleh masyarakat Bali pada Bung Karno yang kini menjadi dokumentasi Istana Bogor.  Tampak Sukarno masih dengan seragam formal dan peci kesayangannya tampil berwibawa di hadapan pasangan suami istri pelukis tersebut. Di satu sisi, Le Mayeur sendiri mengenakan baju bermotif bunga dengan celana pendek dan masih juga tanpa sandal atau sepatu, tampak akrab berbincang. Sementara, Ni Pollock dengan kebaya tradisi dengan pundak terbuka turut berbincang serius.  Di belakang mereka berbincang, tampak delegasi dari pemerintahan turut mendengarkan. Suasana yang akrab beginilah yang tercipta dan dibuat oleh Sukarno. Kunjungan (kini istilah Jawa, blusukan) bukan lagi hal aneh dalam diri Presiden ini. hampir disetiap rumah perupa yang dikunjungi, Sukarno setidaknya telah berkeliling, sambil melihat karya-karya sang perupa.

Di lain waktu, terjadi kisah lain yang cukup menarik disimak. Menurut Ni Pollok ada dua lukisan Le Mayeur pernah dipinjam untuk menghias Istana Presiden Tampaksiring, guna menghormat tamu negara dari India. Tidak secara detail dijelaskan mengenai siapa tamu negara tersebut, tetapi kemungkinan besar adalah Nehru. Tidak diterangkan pula kapan dan lukisan yang mana yang dipinjamkan.  Seusai kunjungan sang tamu selesai, lukisan itu belum juga dikembalikan. Sang Presiden rupanya berkenan dengan lukisan itu dan memerintahkan supaya dibeli saja, lewat perantara yang menemui Ni Pollok. Ni Pollok bingung, karena ia tak pernah (dan berjanji untuk tidak) menjual karya suaminya selamanya.  Lama setelah dua lukisan tersebut dipinjam, Pollok bersikukuh dan tetap memintanya agar dikembalikan, berkali-kali. Ketika Sukarno--lewat perantara--memaksa Pollok memberi harga, Pollok berkata kepada sang perantara dan ditulis oleh Yati Miharja dalam bukunya sebagai berikut.

Bisakah aku memberi harga kepada seorang Kepala Negara? Kepada siapa pun juga aku tak akan menjualnya, aku telah berjanji dalam hati, tanda hormat, tanda cinta kepada suami, berapa aku harus menghargainya? Tak akan pernah! Tak akan pernah! Walau satu gunungan uang didirikan di depanku, rasa hormat dan cintaku kepada Boy (Le Mayeur) tak akan terbeli.  Namun yang ingin memiliki lukisan itu Bapak Kepala Negara, bisakah aku menolak? Bisakah aku memberinya pengertian bahwa lukisan-lukisan itu ibarat sebagian dari jiwaku?

“Saya tidak bisa memberi harga ..., “kataku akhirnya setelah cape menimbang, “Tolong katakan saja kepada Pak Karno, berilah saya penggantinya berupa apa saja yang sekira bisa dipakai jaminan hidup ...”.  Tahun berganti tahun, sampai tiba pergolakan karena rakyat tidak percaya lagi akan kepemimpinannya. Siapakah yang ingat kepada seorang perempuan yang amat merindukan kembalinya ke dua buah lukisan itu? Bahkan, siapakah yang ingat kepada kedua hasil karya suamiku yang tergantung di dinding Istana Tampaksiring itu? Tak ada seorang pun, kecuali aku!

Permintaan Pollok memang menguap begitu saja hingga kini. Sangat disayangkan Pollok tidak menjelaskan dua judul lukisan tersebut. Setidaknya dunia telah menakdirkan belahan jiwa Pollok itu yang secara fisik dimakamkan di Brussel, namun jiwanya ada di dalam Istana Tampaksiring yang dibangun oleh Sukarno itu. Dua “jiwa” Le Mayeur itu tenggelam dalam ketenangan sekaligus kegelisahan hati Ni Pollok yang dipendam selama 27 tahun, sebelum ia meninggal 1985.

Jauh di masa sebelumnya, di tahun 1956, atas usulan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan kala itu, Bahder Djohan, studio Le Mayeur diusulkan untuk dijadikan museum. Le Mayeur setuju. Tepat pada 1957, berdasarkan Akte Persembahan yang diresmikan pada Rabu 28 Agustus 1957 ditetapkan bahwa apabila Pollok meninggal dunia, semua peninggalan Pollok akan diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Sehari sebelumnya ditandatangani sebuah Akte Hadiah bahwa sepeninggal Mayeur semua harta diberikan pada Pollok. Sejumlah 92 karya diantaranya adalah karya Benares in the Morning dan Benares in the Evening (keduanya dibuat 1920-an); Oiled Sails at Bouganda; 28 lukisan pada bagor sebagai kanvas yang dibuat pada jaman Jepang akhirnya menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia.

Inilah sekelumit dari kunjungan Bung Karno sebagai penggemar seni ke Bali. Melalui salah satu kunjungan Bung Karno ke studio Le Mayeur kita dapat mengerti bahwa Bali memang tidak bisa dilepaskan dari peran perjuangan budaya yang dilakukan oleh Bung Karno, sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Museum Le Mayeur yang kini menjadi salah satu tujuan wisata Bali adalah saksi bisu yang amat penting bagi bangsa Indonesia. Museum ini adalah hasil hubungan intens antara Bung Karno dan Le Mayeur (serta Ni Pollok).

Kunjungannya di Bali tidak saja bersifat formal sebagai presiden, namun kadang juga sebagai kunjungan pribadi. Masih banyak kisah mengenai kunjungannya ke Bali dalam rangkaian kunjungan seninya. Kisah-kisah mereka ada yang berujung bahagia, ada pula yang berujung pada kesedihan. Semuanya terjadi pada awal dasawarsa 50 hingga dibangunnya Istana Presiden Tampaksiring, Bali, 1955-1957. Kunjungan Bung Karno ke Bali yang terkait dengan seni juga terjadi pada banyak perupa, baik perupa asing maupun lokal.

(Sumber ;  http://mikkesusanto.jogjanews.com/presiden-sukarno-pelukis-le-mayeur-di-bali.html#sthash.bONcYDFw.dpuf)

Rabu, 11 November 2015

Maestro Lukis Nasional ; Raden Saleh

Raden Saleh Sjarif Boestaman (Lahir 1807 atau 1811 Wafat 23 April 1880) adalah pelukis Indonesia beretnis Arab-Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme
yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis.

Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat  Volks-School).

Keramahannya bergaul memudahkan nya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Penge tahuan untuk Jawa dan pulau seki tarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya.  Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.

Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.

Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.

Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir di Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun pihak Belanda tidak memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap.
Pada waktu Saleh, peristiwa tersebut telah dilukis oleh pelukis Belanda Nicolaas Pieneman dan dikomisikan oleh Jenderal de Kock. Diduga Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Seakan tidak setuju dengan gambaran Pieneman, Raden memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisan versinya; Pieneman menggambarkan peristiwa tersebut dari sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah. Pieneman memberi judul lukisannya Penyerahan Diri Diponegoro, Saleh memberi judul Penangkapan Diponegoro. Diketahui bahwa Saleh sengaja menggambar tokoh Belanda di lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan.
Perubahan-perubahan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Saleh akan tanah kelahirannya di Jawa. Hal ini juga dapat terlihat pada busana pengikut Diponegoro. Pieneman sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karena itu ia menggambarkan pengikut Diponegoro seperti orang Arab. Gambaran Saleh cenderung lebih akurat, dengan kain batik dan blangkon yang terlihat pada beberapa figur. Saleh juga menambahkan detil menarik, ia tidak melukiskan senjata apapun pada pengikut Diponegoro, bahkan keris Diponegoro pun tidak ada. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena itu Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik.
Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja Willem III di Den Haag. Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada 1978. Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil, dipinjam, dan dipindahtangan ke Belanda di masa lampau. Namun dari itu, lukisan Penangkapan tidak termasuk ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh memberikannya kepada Raja Belanda dan tidak pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya diberikan sebagai hadiah dari Istana Kerajaan Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara, Jakarta.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.

Dua tahun pertama di Eropa ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.

Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.

Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.

Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman. Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.

Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.

Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau memengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.

Saleh kembali ke Hindia Belanda pada 1852 setelah 20 tahun menetap di Eropa. Dia bekerja sebagai konservator lukisan pemerintahan kolonial dan mengerjakan sejumlah portret untuk keluarga kerajaan Jawa, sambil terus melukis pemandangan. Namun dari itu, ia mengeluhkan akan ketidaknyamanannya di Jawa. "Disini orang hanya bicara tentang gula dan kopi, kopi dan gula" ujarnya di sebuah surat.

Saleh membangun sebuah rumah di sekitar Cikini yang didasarkan istana Callenberg, dimana ia pernah tinggal saat berada di Jerman. Dengan taman yang luas, sebagian besarnya dihibahkan untuk kebun binatang dan taman umum pada 1862, yang tutup saat peralihan abad. Pada 1960, Taman Ismail Marzuki dibangun di bekas taman tersebut, dan rumahnya sampai sekarang masih berdiri sebagai Rumah Sakit PGI Cikini. Pada 1867, Raden Saleh menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Kraton Yogyakarta bernama Raden Ayu Danudirja dan pindah ke Bogor, dimana ia menyewa sebuah rumah dekat Kebun Raya Bogor yang berpemandangan Gunung Salak. Di kemudian hari, Saleh membawa istrinya berjalan-jalan ke Eropa, mengunjungi negeri-negeri seperti Belanda, Prancis, Jerman, dan Italia. Namun istrinya jatuh sakit saat di Paris, sakitnya masih tidak diketahui hingga sekarang, dan keduanya pun pulang ke Bogor. Istrinya kemudian meninggal pada 31 Juli 1880, setelah kematian Saleh sendiri 3 bulan sebelumnya.
 
KEMATIAN

Pada Jum'at pagi 23 April 1880, Saleh tiba-tiba jatuh sakit. Ia mengaku diracuni oleh salah seorang pembantunya yang dituduh Saleh telah mencuri. Namun dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aliran darahnya terhambat karena pengendapan yang terjadi dekat jatungnya. Ia dikuburkan dua hari kemudian di Kampung Empang, Bogor. Seperti yang dilaporkan koran Javanese Bode, pemakaman Raden "dihadiri sejumlah tuan tanah dan pegawai Belanda, serta sejumlah murid penasaran dari sekolah terdekat."

Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).

Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.

Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll.

Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.

Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir di Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun pihak Belanda tidak memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap.


(Klik Gambar Memperbesar)


PERINGATAN DAN PENGHARGAAN

Selama hidupnya, banyak pejabat dan bangsawan Eropa yang mengagumi Raden Saleh. Lukisannya dipesan oleh tokoh-tokoh seperti bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, di antaranya terdapat bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), dan Ridder van de Witte Valk (R.W.V.).

Pada tahun 1883, diadakan pameran lukisan Raden Saleh di Amsterdam untuk memperingati tiga tahun wafatnya Saleh, atas prakarsa Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha. Di antaranya terdapat lukisan Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan pada tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta, berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya.