Rabu, 05 Agustus 2015

Perang Bubat : Romantisme Sejarah Yang Diselewengkan

REKAYASA SUMBER SEJARAH PERANG BUBAT  ; Karya Perang Bubat yang mashur dan berdarah-darah itu hanyalah pelintiran sejarah Belanda melakukan romantisme tragis tendensius untuk membenturkan dua etnis besar Nusantara. Dan Belanda berhasil.

Berbagai bukti sejarah berhasil mengungkap kelicikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam mendramatisir Peristiwa Sejarah Perang Bubat. Dengan dukungan penelitian ahli sejarah yang diarahkan. Pemerintah Kolonial Belanda berharap terjadi perpecahan besar di Indonesia antar dua suku utama yang ada di Indonesia.

Detil peristiwa Perang Bubat sendiri baru dipublikasikan di Belanda oleh Prof Dr. C.C. Berg pada tahun 1828 dari Kitab Kidung Sundayana (Bali) dan Kitab Kidung Sunda (Jawa Barat). Tahun publikasi penelitian ini adalah tahun ketika di Jawa Tengah sedang berkobar Perang Diponegoro (1825-1830). Sebuah upaya provokatif Kolonial Belanda untuk membendung Perang Diponegoro yang terindikasi meluas ke arah Jawa Barat. Simpati dari warga muslim Sunda untuk mendukung Pangeran Diponegoro pada saat itu sudah mulai terlihat. Dan jika dibiarkan maka perang Diponegoro akan meluas ke arah Jawa Barat, yang notabene memiliki hubungan batin agama Islam yang kuat dengan Pangeran Diponegoro.

Kidung Sunda sendiri memiliki kerangka waktu pembuatan, pada kisaran tahun 1628-1629, pada saat Sultan Agung Hanyokrokusumo sedang menghadapi pertempuran dengan VOC Belanda di Batavia. Pasukan Mataram yang hadir ke Jawa Barat dihadang oleh Belanda dengan berbagai macam cara. Diantaranya dengan kekuatan budaya Kidung Sunda, Cerita Parahiyangan, dan juga Naskah Wangsakerta. Dengan membangkitkan semangat kebencian antar etnis, Belanda berharap pasukan Mataram dapat dipukul mundur oleh kekuatan sentimen romantisme Sunda.  Dalam sejarah, bentrok antara pasukan Mataram dan Sunda terjadi juga di beberapa lokasi. Pasukan Mataram sempat berperang dengan pasukan Sunda yang terinspirasi dengan kidung sedih buatan ini.

Sumber Pararaton yang dijadikan rujukan, tidak menceritakan secara detil Perang Bubat. Dalam Pararaton hanya ada informasi lokasi lapangan Bubat tanpa kisah detil pertempurannya. Banyak ahli sejarah yang mengutip penelitian C.C. Berg tanpa mempertimbangkan aspek kebenaran sejarah. Bahkan ahli sejarah dalam negeri banyak yang berhasil ditipu oleh Profesor C.C. Berg.

Kitab resmi Negarakertagama atau Desawarnana yang ditulis oleh pujangga keraton Majapahit Mpu Prapanca, tidak menceritakan Perang Bubat. Padahal banyak kisah yang jauh lebih memalukan lainnya, ditulis dalam Negarakertagama. Kekalahan Jayanegara dari Pemberontak Ra Kuti. Kisah pembunuhan Brawijaya II ditangan Ra Tancha, jauh lebih memalukan Majapahit, akan tetapi tertulis resmi dalam Negarakertagama.

STRATEGI KUDA TROYA KOLONIAL BELANDA

C.C. Berg melakukan studi dengan tujuan agitasi budaya ke etnis terbesar Nusantara, Jawa dan Sunda. Lebih dari 40 % penduduk Nusantara, adalah etnis Jawa, 20 % etnis Sunda, sedangkan sisanya 40 % merupakan campuran dari 400 etnis lain yang ada di seluruh Indonesia. Dengan membenturkan kedua suku terbesar di Indonesia ini pemerintah kolonial Belanda akan dengan mudah menguasai Nusantara.

Strategi licik Belanda ini terlihat jelas. Jika melihat waktu pembuatan kidung Sunda (di Jawa Barat) dan Sundayana (di Bali), terlihat jelas kaitan kidung ini, dengan jangkauan ekspansi penyatuan Pulau Jawa Bali yang dirancang Sultan Agung. Dengan menumbuhkan semangat anti etnis Jawa, diharap daerah kekuasaan Sultan Agung tidak meluas. Tahun pengumuman penelitian CC. Berg dilakukan pada tahun 1828, diarahkan untuk tujuan yang sama, membatasi daerah sebaran Perang Diponegoro.

Prof. Dr. Cristian Snouch Horgronye adalah contoh inspirator strategi Kuda Troya Belanda di Aceh. Berpura-pura masuk Islam dan menimba ilmu di Mekkah, Haji Snouch, membuat ratusan atau bahkan ribuan Hadits palsu.  Tujuan utama Snouch, menghancurkan perjuangan rakyat Aceh dari dalam. Dari satu surau ke surau Snouch mengkampanyekan hadits palsu yang melemahkan perjuangan rakyat. Pada kisaran 1900-an pejuangan utama rakyat Aceh berhenti dengan gugurnya Teuku Umar (1899), Cut Nya’Dien (1905) dan keluarga. Akan tetapi seluruh pertempuran Aceh baru berhenti pada tahun 1942, ketika Jepang mengalahkan Belanda.

Setelah Proklamasi kemerdekaan, Westerling dengan arahan ratu Belanda, mengangkat kepercayaan kedatangan Ratu Adil. Sebuah pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang didominasi oleh pasukan elit baret merah Belanda sempat membuat kocar-kacir petahanan TNI di Jakarta dan Bandung. Puluhan prajurit TNI tewas di tangan pasukan elit baret merah. Akan tetapi Ratu Adil buatan ini, berhasil dipukul mundur dan dinacurkan.

Pemerintah Kolonial Belanda, memiliki strategi yang sangat cerdik dalam menguasai Nusantara. Selain memanfaatkan strategi devide et impera yang terkenal itu, Belanda juga menggunakan strategi perang Trojan Horse yang sangat terkenal pada Yunani kuno. Kisah Romantisme tendensius Perang Bubat adalah salah satu strategi kuda troya yang digunakan oleh Belanda untuk memecah etnis Sunda Jawa.

Peristiwa silang pendapat di lapangan Bubat dipelintir dan diselewengkan untuk tujuan strategi pecah belah. Silang pendapat yang tidak pernah memakan korban jiwa, dari pihak manapun di lapangan Bubat. Dan ironisnya, Belanda berhasil menanamkan fiksi trauma ini sampai ratusan tahun kemudian. Sampai saat ini masih banyak yang percaya peristiwa pembantaian Bubat terjadi. Bahkan rasa dendam masih membara pada sebagian etnis suku Jawa dan Sunda.

Dan Kini Tinggal Kita Yang Harus Berkaca Dan Memaknai Dari Setiap Sudut Pandang Yang Berbeda Atas Kejadian Ini.