PERISTIWA MADIUN 18 Sept. 1948 ; Sesudah Pekan Olah Raga Nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun.
Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain).
Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.. Pada saat itu hingga era Orde Lama, peristiwa ini dinamakan PERISTIWA MADIUN, dan tidak pernah disebut sebagai PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI). Baru di era Orde Baru, peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
LATAR BELAKANG
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk sayap kiri atau golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol. Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), LETKOL. SOEHARTO (Komandan Brigade X, Divisi III kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III dan kemudian PRESIDEN RI), Letkol. Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Oentoeng Samsoeri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, MUSO, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara LAIN AMIR SJARIFUDDIN HARAHAP, SETYADJIT SOEGONDO dan KELOMPOK DISKUSI PATUK. Beberapa aksi yang dijalankan kelom pok ini diantaranya dengan melancarkan Propaganda Anti Pemerintah, Mengadakan Demonstrasi, Pemogokan, Menculik dan Membunuh Lawan-lawan Politiknya, serta Menggerakkan Kerusuhan dibeberapa tempat. Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh. Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi yang sering menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan.
Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak. Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh AMERIKA SERIKAT untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi politik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI - FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan KEKALAHAN POLITIKNYA didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. PEMERINTAH DITUDUHNYA TERUS MENGALAH PADA KAUM KAPITALIS-REAKSIONER. segala usaha dilakukan untuk MENJATUHKAN PEMERINTAHAN Kabinet Hatta.
Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya.
Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu.
Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri .
Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap.
Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara.. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto
Tindak kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 yang disaksikan puluhan ribu penduduk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak yang menonton pengangkatan jenazah para korban dari sumur-sumur "neraka" yang tersebar di Magetan dan Madiun, adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan Tiga puluh tahun mendahului Pol Pot di Kamboja, Musso di Madiun sempat memberikan petunjuk atau mungkin juga pelatihan penyiksaan gaya mentornya Josef Stalin ketika dia memimpin pengkhianatan PKI Madiun, September 1948.
* Dubur (maaf) warga desa di Pati dan Wirosari ditusuk bambu runcing dan mayat mereka ditancapkan di tengah sawah hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi, seorang wanita, (maaf) ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan di tengah sawah.
* Algojo PKI merentangkan tangga melintang sumur, lalu Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika dalam posisi terlentang itu, maka algojo menggergaji badannya sampai putus menjadi dua bagian, dan langsung dijatuhkan ke dalam sumur.
* Seorang ibu, Nyonya Sakidi mendengar suaminya dibantai PKI di Soco. Dia menyusul kesana, sambil menggendong 2 orang anaknya, umur 1 tahun dan 3 tahun. Dia nekad minta melihat jenazah suaminya. Repot melayaninya, PKI sekalian membantai perempuan malang itu, dimasukkan ke dalam sumur yang sama, sementara kedua anaknya melihat pembunuhan ibunya. Saking traumanya kedua anak tersebut selama berhari-hari hanya makan kembang, akhirnya adik Sakidi menyelamatkan kedua keponakannnya itu dan membawanya pergi
TRAGEDI PESANTREN TAKERAN
Aksi pemberontakan PKI dalam Madiun Affair 1948 menjadikan pesantren sebagai sasaran utama yang harus dibasmi. Sebab, pesantren dianggap sebagai basis kekuatan masyumi yang menjadi musuh besar PKI. Di lain pihak pada tahun-tahun menjelang pemberontakan PKI, pimpinan Uni Soviet Stalin sedang gencar mencengkeramkan kukunya pada umat Islam di Asia Tengah yang menyebabkab berjuta-juta umat islam terbunuh atau dibuang ke Siberia. Sebagai murid Stalin yang setia, Muso tidaklah berlebihan ketika mempriori taskan aksinya dipesantren
Sejarah telah mencatat kelicikan-kelicikan PKI yang menculik satu demi sartu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati”. PKI memang berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan. Salah satu pesantren incaran PKI adalah Takeran. Pesantren ini secara geografis sangat dekat dengan Gorang Gareng sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren Takeran adalah rangkaian pembantaian PKI yang terjadi di Gorang Gareng. Pesantren Takeran atau dikenal dengan pesantren Sabilil Muttaqien di pimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun.
Pesantern Takeran merupakan salah satu pesantren yang paling berwibawa di Magetan kerena pemimpinnya mempunyai pengaruh yang sangat besar karena Kyai Imam Mursjid juga bertindak sebagai Imam tarekat Syatariyah. Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren itu terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan yaitu di dalam pesantren Takeran mamang aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri. Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jum’at Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo pergi ke Burikan. Setelah kepergian mereka seusai sholat Jum’at, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Saat itu Kiai Imam Mursjid diajak bermusyawarah mengenai republik Soviet Indonesia. Kepergian pemimpin pesantren mereka menimbulkan tanda tanya besar, dua hari kemudian keberadaan iai Imam Mursjid belum diketahui secara pasti. PKI terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada ustadz-ustadz yang lain seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Mereka tidak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembatantaian yang tersebar di berbagai tempat di magetan. Yang menimbulkan keheranan adalah sampai sekarang adalah tempat pembantaian Kiai Mursjid yang belum diketahui sampai sekarang karena mayatnya belum dapat ditemukan. Bahkan dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Mursjid.
KONTROVERSI SEJARAH
Namun sebagaimana kebanyakan sejarah di negeri kita ini, dimana setiap peristiwa ada berbagai versi maka peristiwa Madiun inipun demikian pula. Sampai sekarang masih ada yang mengatakan bahwa Peristiwa Madiun sama sekali bukanlah pemberontakan PKI apalagi bahwa PKI telah mendirikan Negara Soviet Madiun, itu adalah fitnah dan merupakan rekayasa jahat pemerintah Hatta guna mendapatkan momen (kondisi dan situasi) yang tepat untuk dapat digunakan sebagai dalih (dasar) untuk menyingkirkan (membasmi) golongan kiri dari pemerintahan maupun angkatan perang, yang kemudian mendapat perlawanan dari rakyat yang konsekuen anti kolonialis/imperialis. Dasar pemikiran ini mengacu pada satu bagian dari sejarah peristiwa Madiun ini ;
1) KETERLIBATAN SOEHARTO
Salah satu fakta penting yang juga terungkap adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto yg pada saat itu masih berpangkat LetKol, adalah utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun. SOEMARSONO, Guber nur Militer (?) yg mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan ABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dan berhasil melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan polisi militer di barak-barak mereka sendiri, langsung yang menemui SOEHARTO dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun, serta meninjau tahanan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’. Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung. Laporan itu harusnya di bawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.
Di sinilah MISTERIUS itu terjadi . Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ketangan pimpinan TNI saat itu yaitu Jendral Soedirman atau tidak. Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta2) PENGAKUAN DE JURE MASYARAKAT INTERNASIONAL ATAS REPUBLIK INDONESIA ;
Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Adanyan rumor ; Kabinet Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Hal ini berkaitan dengan syarat oleh pihak Barat supaya Republik Indonesia mendapatkan pengakuan de jure masyarakat internasional
3) PENENTANGAN SUPREMASI SIPIL OLEH TNI
Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep DWI FUNGSI TNI (yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.) dibawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga pihak yang menentang “Dwi Fungsi TNI” yaitu AMIR SJARIFUDDIN (Menteri Pertahanan). Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap, sehingga Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA) Itu pula salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ ide dan pemikiran Amir yang menentang apa yang kita kenal sebagai DWI FUNGSI TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk MEMBUNGKAM DEMOKRASI.
4) TINDAKAN PENUMPASAN PKI OLEH MILITER
Banyak kontroversi dalam aksi penumpasan pemberontakan, diantaranya militer menggunakan cara-cara yang sama kejinya dengan aksi pemberontakan itu sendiri, berikut beberapa foto tahap-tahap eksekusi para tokoh dan rakyat yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun, yang tidak diberitahukan dalam pendidikan sejarah
(Klik Gambar Memperbesar)CATATAN TAMBAHAN
Setelah Orde Baru tumbang (21 Mei 1998), semakin terang adanya upaya pemutarbalikkan fakta tentang kekejaman PKI. Upaya itu dilakukan dalam berbagai bentuk publikasi, termasuk penulisan buku-buku, terang-terangan semakin mengaburkan sejarah kelam itu. Berbagai publikasi yang dilakukan orang-orang bekas PKI menyebut, pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, hanya merupakan provokasi Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang ketika itu merangkap sebagai Perdana Menteri.
Upaya pengaburan sejarah, diantaranya ; rancangan Kurikulum Pendidikan Sejarah Nasional (PSN) tahun 2004, secara sengaja menghilangkan dua peristiwa; Pemberontakan PKI September 1948 dan Gerakan 30 September (G30S) PKI 1965. Sebaliknya justru banyak mengurai pemberontakan DI/TII. Sejumlah tokoh Islam, gigih melancarkan protes terhadap rencana penerapan kurikulum itu, dan protes ini berhasil menggagalkan penerapan kurikulum PSN “keblinger” itu. Diantara tokoh Islam itu; (Alm) Allahuyarkham KH. Yusuf Hasyim---Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, kemudian KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Pengasuh Perguruan Islam Asy Syafi’iyah, Balimatraman Jakarta Selatan, ada pula Sastrawan Taufiq Ismail dan sejumlah tokoh lainnya.
P E N U T U P
Sejarah adalah sejarah dan semuanya kembali pada kepentingan masing-masing pihak yang berkuasa. Oleh sebab itu, kita harus mencari berbagai sumber untuk menambah pengetahuan dan fakta kita soal peristiwa tersebut.
Kita berharap sejarah hitam ini tidak akan terulang kembali dalam sejarah bangsa Indonesia kita tercinta. Selama kita memperkuat RASA PERSATUAN, bersikap TERBUKA menerima PERBEDAAN SUKU, AGAMA, RAS dan mau menyampaikan aspirasi dengan cara kondusif, dengan IZIN TUHAN YME, percayalah bangsa Indonesia akan tampil sebagai bangsa yang kuat.
MARI KITA BERDOA:
1) Bagi para KORBAN KEGANASAN PEMBERONTAKAN PKI Madiun, Tuhan berkenan menerima mereka disisiNya.
2) Bagi PARA PELAKU PEMBERONTAKAN maupun ALGOJO EKSEKUTOR, semoga Tuhan mengampuninya.
3) Bagi KORBAN FITNAH yang tanpa melalui penyelidikan maupun pengadilan, dieksekusi, Semoga Tuhan berkenan menerima arwah mereka dalam cahaya Illahi
Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)