Jumat, 25 September 2015

Adnan Bachrum "Buyung" Nasution

SI ABANG, ADVOKAT LOKOMOTIF DEMOKRASI  ; Pengacara senior, Adnan Buyung Nasution (81), meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (23/9/2015) sekitar pukul 10.15 WIB.

Pengacara senior kelahiran 20 Juli 1934 itu sudah menderita gagal ginjal sejak Desember 2014 kemudian harus mengalami perawatan lebih lanjut setelah menjalani pencabutan gigi.Pengacara senior Adnan Buyung Nasution merupakan tokoh penting atas lahirnya Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Karakternya sangat kuat, konsistensi untuk menegakkan hukum terus dipelihara, integritas terus dipertahankannya. Buyung pun pernah membela tersangka kasus korupsi, antara lain Gayus Tambunan dan Anas Urbaningrum. Namun, keputusan Buyung membela tersangka semata untuk membela kebenaran.
Berbeda pendapat secara hukum bisa saja terjadi di tengah pandangan dan keyakinan atas kasus tertentu. Tetapi, Adnan Buyung tidak pernah dikotori oleh sikap dan perilaku koruptif.Jejak langkah Buyung telah terpatri dan tak lekang oleh zaman. Kecerdasan pendapat Buyung dan keberpihakannya pada rakyat yang dinistakan keadilannya merupakan sebagian sisi karakter yang akan terus menjadi inspirasi setiap orang. Cita-2 utamanya adalah mewujudkan negara hukum yang demokratis. Semasa hidupnya, Adnan Buyung pernah menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum (2007-2009), Ketua Umum YLBHI (1981-1983), Ketua DPP Peradin (1977), dan Direktur/Ketua Dewan Pengurus LBH (1970-1986)\

RIWAYAT SINGKAT

Prof. Dr. (lur) H. Adnan Buyung Nasution, SH atau Adnan Bahrum Nasution , lahir di Batavia (kini Jakarta), 20 Juli 1934 – meninggal di Jakarta, 23 September 2015 di Rumah Sakit Pondok Indah pada pukul 10.15 WIB karena gagal ginjal dan gangguan jantung. Beliau adalah seorang pengacara dan aktivis Indonesia. Salah satu organisasi yang didirikannya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

KISAH HIDUP

Mantan jaksa yang menjadi advokat handal ini sejak kecil sudah kelihatan berbakat aktivis. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Sempat menganggur satu tahun sebelum membuka kantor pengacara (advokat) dan membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi.
Hidupnya cukup sarat dengan tantangan. Sejak kecil, umur dua belas tahun, Buyung bersama adik satu-satunya Samsi Nasution sudah harus menjadi pedagang kali lima menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di pasar itu pula, ibunya, Ramlah Dougur Lubis berjualan cendol.
Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda dalam Clash II pada 1947-1948.  "Itu masa-masa sulit. Kami hanya makan tiwul, karena tak sanggup beli nasi," katanya seperti dikutip sebuah media cetak. Sejak kecil, ia menjadikan ayahnya sebagai teladan.
"Dia pejuang, caranya pun tidak pilih-pilih. Dia bergerilya membela Republik. Sikapnya jelas, antipenjajahan dalam bentuk apa pun," ujar Buyung tentang ayahnya. Kebanggaan Buyung tentu beralasan. Ayahnya memang sosok pejuang sejati: tidak hanya berjuang lewat gerilya, tetapi juga lewat informasi.
Rahmad Nasution adalah salah seorang pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat. Dia pula yang merintis berdirnya harian berbahasa Inggris The Time of Indonesia.  "Dia menjadi semacam tokoh buat saya," kata Buyung lagi.Rupanya, Buyung juga tidak mau ketinggalan dari ayahnya dalam soal perjuangan.
Ketika SMP di Yogyakarta, ia ikut Mopel (Mobilisasi Pelajar) dan melakukan aksi protes pendirian sekolah NICA di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Ia ikut merusak sekolah dan melempari guru-guru sekolah tersebut. Memang, sejak kecil, Buyung sudah kelihatan berbakat . Aktivis. Saat bersekolah di SMA Negeri I Jakarta, ia pun sudah menjadi Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

Kemudian, ia mengundurkan diri dan membubarkan organisasi itu karena mulai terkena bau-bau PKI dan membawa-bawa nama International Union of Student (IUS) yang kekiri-kirian. Lulus SMA, Buyung hijrah ke Bandung dan mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan Teknik Sipil. Di sana ia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Bandung.

Tetapi ia hanya bertahan setahun di ITB, lalu pindah ke Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak lama di situ, pada 1957 ia pindah lagi ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Lulus sarjana muda, sambil meneruskan kuliah, ia bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Meski sudah menjadi jaksa, tetapi semangatnya sebagai Aktivis tidak pudar. Ketika itu ia sempat mendirikan sekaligus menjadi Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Selain itu, ia juga menjadi anggota Komando Aksi Penggayangan Gestapu. Bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia ikut turun ke jalan sehingga diinterogasi oleh atasannya. Bahkan sempat dirumahkan selama satu setengah tahun alias diskorsing dari pekerjaannya sebagai jaksa. Ia tidak diberi pekerjaan dan tidak diberi meja di kantor. Buyung dituduh antirevolusi, anti-Manipol-Usdek.

Kemudian ia mendapat surat pindah tugas ke Manado. Lucunya, ia ditempatkan di Medan. Entah bagaimana, Buyung tidak srek dengan pemindahan itu. Akhirnya, pada 1968, Buyung meninggalkan baju jaksa. Selain itu, ia juga di-recall dari DPR/MPR. Sekitar setahun ia menganggur kemudian membentuk Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta. Untuk mendukung kerja LBH, Buyung membuka kantor pengacara (advokat). Sekali jalan, dua-duanya berkembang. Kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia. Sementara itu, LBH--kemudian menjadi YLBHI dan membawahi LBH-LBH--pun tumbuh besar dan kemudian dikenal sebagai lokomotif demokrasi.

Soal pendirian LBH ini Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah saja menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu.  "Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang.  Di situ saya berpikir, harus ada orang yang membela mereka," katanya.  Tetapi niat itu dipendamnya. Kemudian, saat buyung kuliah Universitas Melbourne, Australia, ia melihat bahwa di negara itu ada Lembaga Bantuan Hukum.  Itu membuat ia sadar bahwa bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Kemudian ia menyampaikan ide itu kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto.  Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi ia menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saati itu memang belum mendukung gagasan tersebut.  Ia baru bisa merealisaskani idenya membentuk LBH setelah ia keluar dari Kejaksaan.

Mula-mula gagasan itu dilontarkan kepada Profesor Sumitro dan Mochtar Lubis. Rupanya, Sumitro dan Mochtar cukup antusias mendukung ide itu. Namun, Sumitro menyarankan supaya Buyung membuka kantor advokat karena bagaimana pun Buyung harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi sebelum Sumitro sempat membantu, dia keburu diangkat sebagai Menteri perdagangan.  Selanjutnya, Buyung yang izin praktek advokatnya sempat dicabut itu menemui Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adjie untuk mengkonsultasikan ide itu. Rupanya pak Menteri ini juga mendukung tapi menyarankan Buyung jadi advokat dulu supaya punya legalitas. Tanpa proses yang rumit, Buyung pun mendapatkan izin advokat, dan membuka kantor law firm. Tak lupa, ia juga mengajak beberapa temannya menjadi staf, seperti Nono Anwar Makarim, Mari'e Muhammad (bekas Menteri Keuangan).

Kantor itu kemudian berkembang.Kemudian, mulailah Buyung menyiapkan pendirian LBH. Ia mulai melakukan pendekatan dengan sejumlah advokat untuk mensosialisasi ide itu. Buyung tidak mau ada ganjalan untuk mewujudkan gagasannya. Soalnya, menurut Buyung, di beberapa negara LBH dimusuhi oleh para advokat. Tetapi syukur, ia tidak punya ganjalan apa-apa. Peserta Kongres Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), terutama Yap Thiam Hien dan Lukman Wiryadinata (bekas Menteri Kehakiman), mendukung penuh gagasan itu.

Buyung juga melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah. Ia menemui Ali Moertopo yang waktu itu menjadi asisten pribadi Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988). Presiden Soeharto dan menjelaskan ide itu seraya meminta ide itu disampaikan kepada Presiden, apakah presiden setuju atau tidak. Rupanya tak lama, ia dipanggil dan mendapat kabar bahwa Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988). Soeharto setuju dengan gagasan itu. Malah, ketika pembukaan LBH ia mendapat 10 skuter dari pemerintah.Selain pemerintah pusat, Buyung juga mendekati pemerintah daerah DKI Jakarta. Ia menemui Gubernur DKI Jakarta (1966-1977)  Ali Sadikin yang waktu itu menjadi gubernur. Rupanya, Ali juga satu suara dengan yang lain. Bahkan, yang mendukung bukan Ali sebagai pribadi, tetapi pemerintah daerah DKI Jakarta. Karena dukungan-dukungan itu, kemudian lahirlah LBH tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH pertama kali.

Namun, ada satu hal yang tidak banyak diketahui dari si Abang ini, tak lain adalah namanya. Ternyata nama Buyung sebenarnya ADNAN BAHRUM NASUTION. "Nama asli saya dalam akta kelahiran memang Adnan Bahrum Nasution," kata Buyung . Semasa kuliah, bahkan ketika menikah namanya masih tertulis Adnan Bahrum Nasution. Cuma memang ia tidak menulis lengkap namanya: Adnan Bahrum Nasution, tetapi Adnan B. Nasution.Tetapi kawan-kawannya suka memanggilnya Buyung. Perekatan nama Buyung di tengah namanya itu terjadi ketika menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1964. Waktu itu petugas administrasi disana yang kerap mendengar sapaan Buyung terhadap si Abang, langsung saja menulis lengkap nama Adnan B. Nasution sebagai Mantan Jaksa, Advokat/Konsultan Hukum, Adnan Buyung Nasution. Nama itulah yang kemudian dikenal banyak orang

KARIR

1) Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum (2007-2009)
2) ketua Umum YLBHI (1981-1983)
3) Ketua DPP Peradin (1977)
4) Direktur/Ketua Dewan Pengurus LBH (1970-1986)
5) Advokat/Konsultan Hukum Adnan Buyung & Associates (1969-sekarang)
6) Anggota DPRS/MPRS (1966-1968)
7) Ketua KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) (1966)
8) Jaksa/Kepala Humas Kejaksaan Agung (1957-1968)

PENDIDIKAN

1) SMA Negeri 1 Jakarta
2) Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung
3) Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada
4) Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia
5) Studi Hukum Internasional, Universitas Melbourne, Australia
6) Universitas Utrecht, Belanda

Pesan terakhir beliau ;
"JAGALAH LBH / YLBHI, TERUSKAN PEMIKIRAN DAN PERJUANGAN UNTUK MASYARAKAT MISKIN DAN TERTINDAS," 
demikian tulis Buyung sambil menangis sebagai pesan terakhir Buyung kepada Todung dan rekan-rekannya. Senior, rekan kerja, sahabat. Pesan Buyung itu pun memiliki makna mendalam untuk penegak hukum di Indonesia.
"Pesan bagi semuanya adalah, dia saja dalam sakitnya masih memikirkan negerinya, bangsanya (sumber Todung Mulya Lubis)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhalangan hadir melawat advokat senior Adnan Buyung Nasution. Demikian disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki saat bertandang ke rumah duka di Jalan Poncol Lestari Nomor 7, Lebak Bulus, Jakarta (Rabu, 23/9). 
"Presiden tidak bisa melayat ke rumah duka karena beliau sedang kunker mengkoordinasi pemadaman kebakaran hutan di Kalsel, dan akan terus melanjutkan perjalanan ke Medan, ke Sinabung," jelasnya.  Menurut Teten, Presiden Jokowi telah menyampaikan belasungkawa kepada keluarga almarhum Adnan Buyung melalui pernyataan resmi. Juga mengirimkan karangan bunga.
Teten menceritakan, keduanya memiliki kedekatan secara emosional cukup dekat, lantaran Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2014 lalu kerap bertemu pakar hukum yang juga pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tersebut.  "Sehingga antara pak Presiden dengan pak Adnan Buyung punya hubungan emosional, punya kesamaan pikiran," bebernya.  


Ditambahkan Teten, Presiden Jokowi juga respek dengan apa yang dilakukan Adnan Buyung dalam memajukan hak asasi manusia di Indonesia


(dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber)

Senin, 14 September 2015

Devi Dja, Diva Pahlawati

Devi Dja terkenal dengan nama (Miss Dja) lahir di Sentul, Yogyakarta, tanggal 1 Agustus 1914 – meninggal di Forest Lawn Memorial Park (Hollywood Hills), Los Angeles, 19 Januari 1989 pada umur 74 tahun yang memiliki nama asli Misri
dan kemudian menjadi Soetidjah

Dia adalah seorang penari, pemain Sandiwara dan pemain film Indonesia yang terkenal di era 1940-an. Dia tergabung pada kelompok Opera Dardanella, namun pada sekitar tahun 1940 dia hijrah ke Amerika bersama suaminya Willy Klimanoff (pendiri kelompok Dardanella). Hingga masa akhir hidupnya ia memilih berkarir di Amerika Serikat sebagai entertainer profesional dan dikuburkan di sana.

RIWAYAT HIDUP

Devi Dja memang memiliki minat seni sejak kecil, pada masa itu ia sering me- nguntit kakeknya Satiran, dan Neneknya yang bernama Sriatun, menga- men berkeliling dari kam pung keluar kampung me- metik siter. Devi Dja be- rangkat dari keluarga Jawa yang miskin di awal abad 20. Pada suatu saat, ketika mereka sedang ngamen di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, di waktu yang bersamaan kelompok Darda nella juga sedang mengadakan pertunjukan di kota tersebut. Kemudian di suatu tempat, tanpa di sengaja Piedro melihat Devi Dja sedang mengamen bersama kakek dan neneknya. Piedro mengaku tertarik dengan Soetidjah dan langsung melamarnya. Piedro tertarik pada Soetidjah ketika ia menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang memang sedang populer ketika itu.

Meski keluarga Soetidjah keberatan, namun akhirnya Soetidjah memilih untuk menerima pinangan Pedro dan bergabung sebagai pemain pada rombongan sandiwara Dardanella. Pada awal tahun ia mulai bergabung, Soetidjah hanya dapat peran-peran kecil dan lebih sering menjadi penari yang tampil dalam pergantian antara babak. Mungkin karena Soetidjah tak penah mengenyam pendidikan sebelumnya, ia baru mulai belajar membaca dan menulis latin ketika bergabung pada kelompok Dardanella tersebut, di saat usianya 14 tahun. Dua tahun kemudian, di usianya yang ke 16, Soetidjah mulai bersinar sebagai bintang, ketika itu pemeran utama wanita Dardanella, Miss Riboet II jatuh sakit. Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih, sebuah peran yang selama ini dipegang oleh Miss Riboet II dalam lakon “Dokter Syamsi”. Akting Soetidjah cukup meyakinkan, hingga kemudian ia dipanggil dengan julukan Erni oleh kawan-kawannya

KEHIDUPAN DI LUAR NEGERI

Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Dardanella adalah rombong an teater Indonesia pertama yang menyeberang ke luar negeri. Waktu berlayar ke Singapura sebelum Perang Kemerdekaan, beranggota kan 150 orang, antara lain seperti Tan Tjeng Bok, Hemy L. Duarte, Riboet II, Astaman, Subadi dan lain-lain. Jumlah yang sangat besar sekali bahkan untuk hitungan saat ini. Dardanella berkali-kali berganti nama, namun hanya Dardanella yang tetap terkenal dan menjadi buah bibir di masyarakat.

Menjelang Perang Dunia II, mereka mendarat di China dan bermain di beberapa kota. Kemudian berlayar ke India. Di Rangoon. Pada bulan Mei tahun 1937 Devi Dja menari disaksikan Jawaharlal Nehru, sebagaimana tersimpan dalam tulisan pendeknya. Melanjutkan perlawatannya ke sebelah barat, dengan jumlah anggota yang mengecil dan rontok di tengah jalan, Dardanella tampil di Turki, Paris, lalu ke Maroko dan terakhir di Jerman. Dengan kapal laut terakhir "Rotterdam" dari Belanda, mereka menuju ke Benua Amerika. Mendarat di New York dengan pemain yang tinggal beberapa saja diantaranya Ferry Kock, Eddy Kock dan lainnya. Di sini rombongan berganti nama "Devi Dja's Bali and Java Cultural Dancers", dan manggung di beberapa tempat antara lain di restoran-restoran di New York

Pengalaman Devi Dja dari Dardanella, bukan hanya pengalaman hilir mudik tampil di atas panggung di pelbagai kota di Indonesia dari bagian Barat hingga ke Timur, melainkan pengalaman hidup mereka menjadi anak panggung dan kehidupan itu sendiri.

Suatu ketika rombongan ini sedang bermain di luar negeri dan terjadi percekcokan yang akhirnya menyebabkan Devi Dja memutuskan untuk meninggalkan Dardanella dan menetap di Amerika Serikat. Hal ini justru memberikan kesempatan yang berharga, karena kontribusinya sebagai seniwati Indonesia dalam usaha-usahanya mengumpulkan dana bagi perjuangan pada masa revolusi fisik pasca kemerdekaan.

Bersama-sama dengan "The Indonesian Association" di kota San Fransisco, Devi Dja dengan grupnya, mengadakan pertunjukan seni Indonesia yang hasilnya disumbangkan kepada perjuangan RI. Setelah merasa cukup lama tinggal di Amerika mereka bermaksud kembali ke tanah air, tapi Perang Dunia II terlanjur pecah dan Indonesia diduduki oleh Jepang. Akhirnya mereka tertahan di Amerika tidak bisa pulang. Kemudian setelah PD II usai, anggota rombongan ini tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang dan semangat pun mulai luntur.

Demi bertahan hidup di Amerika, Piedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub yang bernama Sarong Room di Chicago, namun sangat disayangkan niteclub tersebut terbakar habis pada tahun 1946. Piedro akhirnya merasa tak tahan dan meninggal dunia di Chicago pada tahun 1952.

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB, di New York pada tahun 1947. Oleh Sutan Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Namanya pun makin dikenal di Amerika, oleh sebab itu tak sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan Amerika

Pada tahun 1951 Devi resmi menjadi warga negara Amerika. Sepeninggal Piedro, Devi masih sempat mementaskan kebolehannya dari panggung ke panggung bersama anggota kelompok yang tersisa. Kemudian Devi menikah dengan seorang seniman berdarah Indian bernama Acee Blue Eagle. Namun pernikahan itu hanya berlangsung sebentar, Acce tidak suka Devi Dja bergaul dengan sesama masyarakat Indonesia yang tinggal di Amerika, sementara itu adalah juga dunianya. Apalagi kemudian setelah terbetik kabar, bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya.

Setelah Devi bercerai, ia kemudian hijrah ke Los Angeles, kesempatan karir terbentang di sana. Devi Dja sempat menari di depan Claudette Colbert yang takjub oleh gerak tangan dan kerling mata Devi Dja.

Beberapa waktu kemudian ia menikah lagi dengan seseorang Indonesia asal Gresik yang menetap di Amerika bernama Ali Assan. Dari Ali Assan ini Devi memperoleh satu anak perempuan yang diberi nama Ratna Assan. Tapi usia pernikahan mereka pun tak lama, akhirnya mereka bercerai.

Di samping sering menggelar pertunjukan Dvi juga menyibukan diri mengajarkan tari-tarian daerah kepada penari-penari Amerika. Devi mengaku meski namanya sudah terkenal sebagai penari, tapi kehidupan kala itu sangatlah susah, mengingat dunia habis dicabik-cabik perang. Namun Devi mengaku beruntung berteman dengan para pesohor dunia sekelas Hollywood yang banyak menjadi teman akrabnya. Ia akrab dengan Greta Garbo, Carry Cooper, Bob Hope, Dorothy Lamour, dan Bing Crosby. Merekalah yang banyak membantu Devi dalam memberikan kesempatan.

Di Los Angeles Dewi juga rutin mengisi salah satu acara televisi lokal. Anaknya, Ratna Assan sempat bermain sebagai pemeran pendukung dalam film Papillon (1973) yang dibintangi Steve Mc Quin dan Dustin Hoffman. Tapi Ratna Assan kemudian tidak melanjutkan karir aktingnya di Hollywood, sesuatu yang amat disesali Devi Dja mengingat anaknya itu fasih berbahasa Inggris, tidak seperti dirinya.

Devi juga sempat bermain dalam beberapa film Hollywood, antara lain The Moon And Sixpence, yang menceritakan riwayat hidup seorang pelukis Prancis Paul Gaugin. Dia juga membintangi atau menjadi koreografer film Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Picture of Dorian Gray (1945) di film ini, ia berperan sebagai Penari Bali, Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952)

Sewaktu Presiden Soekarno bersama putranya Guntur Soekarno Putra melawat ke Amerika, Devi Dja sempat menjemputnya. Oleh sebab itu saat Devi Dja mendapat kesempatan pulang ke Indonesia, ia diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Soekarno sempat menganjurkan supaya Devi melepaskan kewarganegaraan Amerikanya, tetapi halangan besar adalah pekerjaannya. Di hati Devi Dja, tanah airnya tetaplah Indonesia, hal ini dibuktikan dengan berjuang terus memperkenalkan budaya Indonesia, dengan menari dan memperkenalkan makanan khas Indonesia.

Devi Dja pernah memimpin float Indonesia (float “Indonesian Holiday”, dengan sponsor Union Oil) dalam “Rose Parade” di Pasadena, tahun 1970. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin rombongan Indonesia yang turut serta dalam Rose Parade di Pasadena waktu itu.

Sewaktu tanda penghargaan disematkan padanya, ia memanggil putrinya: Ratna “Ini Ratna, bacalah!” Penghargaan bagi kalian, bagi kita. “Ya Mamah. Lain kali kita harus mempertunjukkan sesuatu yang lebih bagus lagi”

Devi Dja pernah tampil membela pemuda-pemuda Indonesia di pengadilan Los Angeles ketika maraknya berita tentang “Perbudakan di Los Angeles”. Devi tampil sebagai pembela pemuda-pemudi Indonesia yang dirantai dan dihadapkan ke pengadilan Amerika di Los Angeles. Namun berkat campur tangan Devi Dja bersama staf KBRI di Los Angeles, Pruistin Tines Ramadhan, dan Joop Ave, waktu itu sebagai Dirjen Protokol Konsuler di Deplu Pejambon, persoalan “budak-budak” dari Indonesia itu terselesaikan dan tidak sampai ada yang tertahan.

Di Los Angeles Devi Dja tinggal di kawasan Mission Hill, San Fernando Valley, 22 km di Utara Los Angeles. Di rumah berkamar tiga di pinggiran kota itu ia tinggal bersama putri satu-satunya, Ratna Assan. Semasa pensiun Devi Dja mendapat sedikit uang pensiun dari Union Arts, tempat dimana dia dulu bergabung.

Tahun 1982 saat berusia 68 tahun, Devi Dja pernah pulang ke Indonesia atas undangan Panitia Festival Film Indonesia. Ia sempat menjenguk teman lamanya Tan Tjeng Bok yang tergolek lemah di rumah sakit. Devi Dja kemudian meninggal di Los Angeles pada tanggal 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles.

Catatan tentang Devi Dja sempat ditulis dalam beberapa buku, diantaranya Standing Ovations: Devi Dja, Woman of Java karya Leona Mayer Merrin, terbitan tahun 1989 dan dalam buku memoar mantan suaminya, "Lumhee Holot-Tee: The Art and Life of Acee Blue Eagle" karya Tamara Liegerot Elder.

(disarikan dari berbagai sumber)