Senin, 14 September 2015

Devi Dja, Diva Pahlawati

Devi Dja terkenal dengan nama (Miss Dja) lahir di Sentul, Yogyakarta, tanggal 1 Agustus 1914 – meninggal di Forest Lawn Memorial Park (Hollywood Hills), Los Angeles, 19 Januari 1989 pada umur 74 tahun yang memiliki nama asli Misri
dan kemudian menjadi Soetidjah

Dia adalah seorang penari, pemain Sandiwara dan pemain film Indonesia yang terkenal di era 1940-an. Dia tergabung pada kelompok Opera Dardanella, namun pada sekitar tahun 1940 dia hijrah ke Amerika bersama suaminya Willy Klimanoff (pendiri kelompok Dardanella). Hingga masa akhir hidupnya ia memilih berkarir di Amerika Serikat sebagai entertainer profesional dan dikuburkan di sana.

RIWAYAT HIDUP

Devi Dja memang memiliki minat seni sejak kecil, pada masa itu ia sering me- nguntit kakeknya Satiran, dan Neneknya yang bernama Sriatun, menga- men berkeliling dari kam pung keluar kampung me- metik siter. Devi Dja be- rangkat dari keluarga Jawa yang miskin di awal abad 20. Pada suatu saat, ketika mereka sedang ngamen di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, di waktu yang bersamaan kelompok Darda nella juga sedang mengadakan pertunjukan di kota tersebut. Kemudian di suatu tempat, tanpa di sengaja Piedro melihat Devi Dja sedang mengamen bersama kakek dan neneknya. Piedro mengaku tertarik dengan Soetidjah dan langsung melamarnya. Piedro tertarik pada Soetidjah ketika ia menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang memang sedang populer ketika itu.

Meski keluarga Soetidjah keberatan, namun akhirnya Soetidjah memilih untuk menerima pinangan Pedro dan bergabung sebagai pemain pada rombongan sandiwara Dardanella. Pada awal tahun ia mulai bergabung, Soetidjah hanya dapat peran-peran kecil dan lebih sering menjadi penari yang tampil dalam pergantian antara babak. Mungkin karena Soetidjah tak penah mengenyam pendidikan sebelumnya, ia baru mulai belajar membaca dan menulis latin ketika bergabung pada kelompok Dardanella tersebut, di saat usianya 14 tahun. Dua tahun kemudian, di usianya yang ke 16, Soetidjah mulai bersinar sebagai bintang, ketika itu pemeran utama wanita Dardanella, Miss Riboet II jatuh sakit. Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih, sebuah peran yang selama ini dipegang oleh Miss Riboet II dalam lakon “Dokter Syamsi”. Akting Soetidjah cukup meyakinkan, hingga kemudian ia dipanggil dengan julukan Erni oleh kawan-kawannya

KEHIDUPAN DI LUAR NEGERI

Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Dardanella adalah rombong an teater Indonesia pertama yang menyeberang ke luar negeri. Waktu berlayar ke Singapura sebelum Perang Kemerdekaan, beranggota kan 150 orang, antara lain seperti Tan Tjeng Bok, Hemy L. Duarte, Riboet II, Astaman, Subadi dan lain-lain. Jumlah yang sangat besar sekali bahkan untuk hitungan saat ini. Dardanella berkali-kali berganti nama, namun hanya Dardanella yang tetap terkenal dan menjadi buah bibir di masyarakat.

Menjelang Perang Dunia II, mereka mendarat di China dan bermain di beberapa kota. Kemudian berlayar ke India. Di Rangoon. Pada bulan Mei tahun 1937 Devi Dja menari disaksikan Jawaharlal Nehru, sebagaimana tersimpan dalam tulisan pendeknya. Melanjutkan perlawatannya ke sebelah barat, dengan jumlah anggota yang mengecil dan rontok di tengah jalan, Dardanella tampil di Turki, Paris, lalu ke Maroko dan terakhir di Jerman. Dengan kapal laut terakhir "Rotterdam" dari Belanda, mereka menuju ke Benua Amerika. Mendarat di New York dengan pemain yang tinggal beberapa saja diantaranya Ferry Kock, Eddy Kock dan lainnya. Di sini rombongan berganti nama "Devi Dja's Bali and Java Cultural Dancers", dan manggung di beberapa tempat antara lain di restoran-restoran di New York

Pengalaman Devi Dja dari Dardanella, bukan hanya pengalaman hilir mudik tampil di atas panggung di pelbagai kota di Indonesia dari bagian Barat hingga ke Timur, melainkan pengalaman hidup mereka menjadi anak panggung dan kehidupan itu sendiri.

Suatu ketika rombongan ini sedang bermain di luar negeri dan terjadi percekcokan yang akhirnya menyebabkan Devi Dja memutuskan untuk meninggalkan Dardanella dan menetap di Amerika Serikat. Hal ini justru memberikan kesempatan yang berharga, karena kontribusinya sebagai seniwati Indonesia dalam usaha-usahanya mengumpulkan dana bagi perjuangan pada masa revolusi fisik pasca kemerdekaan.

Bersama-sama dengan "The Indonesian Association" di kota San Fransisco, Devi Dja dengan grupnya, mengadakan pertunjukan seni Indonesia yang hasilnya disumbangkan kepada perjuangan RI. Setelah merasa cukup lama tinggal di Amerika mereka bermaksud kembali ke tanah air, tapi Perang Dunia II terlanjur pecah dan Indonesia diduduki oleh Jepang. Akhirnya mereka tertahan di Amerika tidak bisa pulang. Kemudian setelah PD II usai, anggota rombongan ini tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang dan semangat pun mulai luntur.

Demi bertahan hidup di Amerika, Piedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub yang bernama Sarong Room di Chicago, namun sangat disayangkan niteclub tersebut terbakar habis pada tahun 1946. Piedro akhirnya merasa tak tahan dan meninggal dunia di Chicago pada tahun 1952.

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB, di New York pada tahun 1947. Oleh Sutan Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Namanya pun makin dikenal di Amerika, oleh sebab itu tak sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan Amerika

Pada tahun 1951 Devi resmi menjadi warga negara Amerika. Sepeninggal Piedro, Devi masih sempat mementaskan kebolehannya dari panggung ke panggung bersama anggota kelompok yang tersisa. Kemudian Devi menikah dengan seorang seniman berdarah Indian bernama Acee Blue Eagle. Namun pernikahan itu hanya berlangsung sebentar, Acce tidak suka Devi Dja bergaul dengan sesama masyarakat Indonesia yang tinggal di Amerika, sementara itu adalah juga dunianya. Apalagi kemudian setelah terbetik kabar, bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya.

Setelah Devi bercerai, ia kemudian hijrah ke Los Angeles, kesempatan karir terbentang di sana. Devi Dja sempat menari di depan Claudette Colbert yang takjub oleh gerak tangan dan kerling mata Devi Dja.

Beberapa waktu kemudian ia menikah lagi dengan seseorang Indonesia asal Gresik yang menetap di Amerika bernama Ali Assan. Dari Ali Assan ini Devi memperoleh satu anak perempuan yang diberi nama Ratna Assan. Tapi usia pernikahan mereka pun tak lama, akhirnya mereka bercerai.

Di samping sering menggelar pertunjukan Dvi juga menyibukan diri mengajarkan tari-tarian daerah kepada penari-penari Amerika. Devi mengaku meski namanya sudah terkenal sebagai penari, tapi kehidupan kala itu sangatlah susah, mengingat dunia habis dicabik-cabik perang. Namun Devi mengaku beruntung berteman dengan para pesohor dunia sekelas Hollywood yang banyak menjadi teman akrabnya. Ia akrab dengan Greta Garbo, Carry Cooper, Bob Hope, Dorothy Lamour, dan Bing Crosby. Merekalah yang banyak membantu Devi dalam memberikan kesempatan.

Di Los Angeles Dewi juga rutin mengisi salah satu acara televisi lokal. Anaknya, Ratna Assan sempat bermain sebagai pemeran pendukung dalam film Papillon (1973) yang dibintangi Steve Mc Quin dan Dustin Hoffman. Tapi Ratna Assan kemudian tidak melanjutkan karir aktingnya di Hollywood, sesuatu yang amat disesali Devi Dja mengingat anaknya itu fasih berbahasa Inggris, tidak seperti dirinya.

Devi juga sempat bermain dalam beberapa film Hollywood, antara lain The Moon And Sixpence, yang menceritakan riwayat hidup seorang pelukis Prancis Paul Gaugin. Dia juga membintangi atau menjadi koreografer film Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Picture of Dorian Gray (1945) di film ini, ia berperan sebagai Penari Bali, Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952)

Sewaktu Presiden Soekarno bersama putranya Guntur Soekarno Putra melawat ke Amerika, Devi Dja sempat menjemputnya. Oleh sebab itu saat Devi Dja mendapat kesempatan pulang ke Indonesia, ia diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Soekarno sempat menganjurkan supaya Devi melepaskan kewarganegaraan Amerikanya, tetapi halangan besar adalah pekerjaannya. Di hati Devi Dja, tanah airnya tetaplah Indonesia, hal ini dibuktikan dengan berjuang terus memperkenalkan budaya Indonesia, dengan menari dan memperkenalkan makanan khas Indonesia.

Devi Dja pernah memimpin float Indonesia (float “Indonesian Holiday”, dengan sponsor Union Oil) dalam “Rose Parade” di Pasadena, tahun 1970. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin rombongan Indonesia yang turut serta dalam Rose Parade di Pasadena waktu itu.

Sewaktu tanda penghargaan disematkan padanya, ia memanggil putrinya: Ratna “Ini Ratna, bacalah!” Penghargaan bagi kalian, bagi kita. “Ya Mamah. Lain kali kita harus mempertunjukkan sesuatu yang lebih bagus lagi”

Devi Dja pernah tampil membela pemuda-pemuda Indonesia di pengadilan Los Angeles ketika maraknya berita tentang “Perbudakan di Los Angeles”. Devi tampil sebagai pembela pemuda-pemudi Indonesia yang dirantai dan dihadapkan ke pengadilan Amerika di Los Angeles. Namun berkat campur tangan Devi Dja bersama staf KBRI di Los Angeles, Pruistin Tines Ramadhan, dan Joop Ave, waktu itu sebagai Dirjen Protokol Konsuler di Deplu Pejambon, persoalan “budak-budak” dari Indonesia itu terselesaikan dan tidak sampai ada yang tertahan.

Di Los Angeles Devi Dja tinggal di kawasan Mission Hill, San Fernando Valley, 22 km di Utara Los Angeles. Di rumah berkamar tiga di pinggiran kota itu ia tinggal bersama putri satu-satunya, Ratna Assan. Semasa pensiun Devi Dja mendapat sedikit uang pensiun dari Union Arts, tempat dimana dia dulu bergabung.

Tahun 1982 saat berusia 68 tahun, Devi Dja pernah pulang ke Indonesia atas undangan Panitia Festival Film Indonesia. Ia sempat menjenguk teman lamanya Tan Tjeng Bok yang tergolek lemah di rumah sakit. Devi Dja kemudian meninggal di Los Angeles pada tanggal 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles.

Catatan tentang Devi Dja sempat ditulis dalam beberapa buku, diantaranya Standing Ovations: Devi Dja, Woman of Java karya Leona Mayer Merrin, terbitan tahun 1989 dan dalam buku memoar mantan suaminya, "Lumhee Holot-Tee: The Art and Life of Acee Blue Eagle" karya Tamara Liegerot Elder.

(disarikan dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: