Rabu, 24 Juni 2015

Tekanan Belanda Atas Perhajian

Untuk mengawali usaha monopoli ibadah haji maka pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah putusan terkait prosesi ibadah haji untuk pertama kalinya, “Pihak kolonial kemudian berupaya menekan jamaah haji dengan mengeluarkan RESOLUSI (PUTUSAN) 1825.

Peraturan ini diharapkan tidak hanya MEMBERATKAN JAMAAH DALAM HAL BIAYA tetapi sekaligus dapat MEMONITOR AKTIVITAS MEREKA DALAM MELAKSANAKAN RITUAL IBADAH HAJI DAN KEGIATAN LAINNYA SELAMA BERMUKIM DISANA”.

Walaupun dengan biaya yang begitu mahal, jamaah haji tidak mendapatkan fasilitas yang memadai dalam prosesi ibadah haji, “persaingan maskapai kapal Belanda (KPM) yang disebut dngan istilah kongsi tiga dengan maskapai kapal Inggris, Arab, dan Singapura, namun pada umumnya maskapai tidak ada yang mengutamakan kesehatan.

Praktek makelar atau percaloan ibadah haji tidak hanya semakin banyak terjadi beberapa tahun terakhir ini. Ternyata di Kota Cilegon praktek percaloan haji itu sudah terjadi sejak jaman kolonial Belanda dulu. Diceritakan pada tahun 1893 pada jaman kolonial Belanda, sekelompok warga Cilegon, “BERKOEMPOEL” melayangkan surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal “kongkolikong” Johanes Gregorius Marinus Herklots, bos agen perjalanan haji “The Java Agency” dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja.

Kongkolikong itu untuk menjaring jamaah haji asal Cilegon dan sekitarnya sebanyak-banyaknya. Perusahaan agen haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya pejabat beserta keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah. Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat di Cilegon pada waktu itu memakai kekuasaannya untuk memaksa rakyat yang hendak pergi haji agar menggunakan perusahaan Herklots. Jika tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas-nya (semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah. Dengan kongkolikong macam itu pada musim haji tahun 1893, Herklots berhasil menjaring banyak jemaah haji dari Cilegon. (historia. co.id)

Perkembangan hubungan dengan Timur Tengah dan semakin banyaknya jumlah haji setelah menggunakan kapal uap memengaruhi perkembangan di Indonesia. Hal inilah yang membuat Belanda menempatkan konsulnya di Jeddah dan kemudian menjadi Kedutaan. Disamping selama naik haji di Mekah para Jemaah Indonesia diharuskan lapor ke Konsulat Belanda disana (Yg mau tak mau harus dibuka konsulat oleh Belanda disana) para jemaah juga sebelum dan sesudah naik haji di KARANTINA di Pulau Onrust (Pulau Seribu). Ini dibuat agar Belanda dapat mendata para jemaah yang nantinya dikawatirkan belanda menjadi “EKSTRIMIS”

(Klik Gambar Memperbesar)

Baca Juga ;  Polemik Gelar HAJINaik Haji Tempo DoeloeSejarah Perhajian di NusantaraKafilah Haji Dunia Abad ke 13Asal Gelar HAJI di Indonesia

Selasa, 23 Juni 2015

Sejarah Perhajian di Nusantara

Di dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa ; pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa. Dia adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit. Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar,
ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam.

Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.  

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon. Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji

Menurut naskah Sejarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.

Lebih Lanjut Baca - Kafilah Haji Dunia Abad Ke-13, Per-Haji-an Sejak 1880,  Asal Gelar Haji Di Indonesia, Tekanan Belanda Atas Perhajian

Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Kafilah Haji Dunia Abad ke 13

Perjalanan dilakukan berkelompok, kala itu, jumlah jamaah haji sudah bisa mencapai puluhan ribu orang. Ketika itu, ada pemimpin pasukan yang bertugas menjaga keselamatan dan mengorganisir jamaah haji. Pemimpin pasukan itu dinamai Umara' al-Hajj yang bertugas
tidak hanya melindungi jamaah tapi juga harta dan suplai selama perjalanan 

Harun ar-Rashid merupakan salah seorang khalifah yang pernah mengemban tugas itu. Ia memilih bertarung demi Allah dan karena itulah ia dijuluki Komandan Besar selama perjalanan menuju Masjidil Haram. Istrinya, Zubaydah binti Ja'far pernah membangun jalan seluas 900 mil dari Koofah ke Makkah. Jalan yang dinamai Darb Zubaydah itu selesai dibangun pada 780 Masehi. Jalan itu sekaligus menjadi rute paling awal khusus bagi jamaah calon haji. Harun peduli dengan jamaah haji golongan tidak mampu yang berkelana dengan jalan kaki. Ia menambahkan sembilan tempat istirahat di sepanjang jalan itu. Selain itu, Ia telah menjadi saksi mata atas keadaan menyedihkan jamaah haji kurang mampu ketika melihat mereka harus membayar sebotol minuman. Maka, ia yang memiliki sejumlah sumurpun mengarahkannya di sepanjang rute Haji dari Wadi Nu'man ke Makkah. Sumur-sumur yang disebut Ayn Zubaydah itu diprediksi dibangun dengan total biaya 54 juta dirham. Manfaat dari sumur itu sempat tercatat dalam tulisan perjalanan Ibnu Jubayr dari Andalusia ke Makkah. "Jamaah haji menuangkan air yang mereka punya dan bersenang-senang dalam kelimpahan air itu. Mereka berenang dan mandi pada air itu. Itulah pemberian Tuhan bagi perjalanan mereka."

Selain para penguasa Muslim asal Arab, penguasa non-Arab pun menunjukan kebaikannya pada jamaah haji. Pada 1324 Masehi, pemimpin Muslim dari Mali, Mansa Musa melaksanakan haji pertamanya. Ia membawa ratusan unta dengan masing2 membawa emas, makanan dan minuman. Rombongannya ditemani 60 ribu orang termasuk pasukan, dokter, guru, dan pendongeng. Usaha rombongan Mansaguna mencapai Mekkah tidaklah mudah. Dari ibukota Niani ke Timbuktu harus melalui gurun sahara. Hingga mencapai Kairo terlebih dahulu sebelum mencapai. Jazirah Arab.Ketika itu, orang-orang disepanjang perjalanan Mansa menunggunya lewat guna menyaksikan betapa besar rombongannya. Kebaikan Mansa sudah terkenal kala itu. Sehingga seusai hajinya itu ia memberikan uang dan emas kepada penduduk di Mekkah dan Kairo saat perjalanan pulangnya. Saking banyaknya emas yang ia berikan hingga membuat harga emas menurun drastis ketika itu.&nbsp

Selain kisah Mansa, ada pula perjalanan Sikandar Begum yang tercatat dalam tinta sejarah. Ia merupakan pemimpin dari wilayah Bhopal di India yang mencapai Jeddah pada 23 Januari 1864. Ia pun sekaligus menjadi penguasa asal India pertama yang melaksanakan haji. Begum sendiri adalah muslimah yang terus menulis detail perjalanannya dalam buku catatan. Begum turut menjadi penguasa pertama non-Arab yang mendapatkan tanah di Mekkah dan Madinah untuk membangun penginapan.Setelah dibangun, maka penginapan itu hanya diperuntukkan bagi jamaah haji asal negaranya hingga hari ini. Sedangkan pemimpin India dari wilayah Hyderabad, Arcot dan Tonk akhirnya mengikuti jejaknya.

(Klik Gambar Memperbesar)

PERANG DAN HAJI

Pelaksanaan Haji sempat diwarnai sejumlah peperang an besar. Turki Ustmani yang waktu itu menjadi penjaga dua masjid suci terlibat Perang Dunia I. Wilayah Barat yang kini menjadi bagian dari Arab Saudi menjadi tidak aman. Penyebab jangka panjang perang ini mencakup kebijakan luar negeri imperialis kekuatan besar Eropa, termasuk Kekaisaran Jerman, Kekaisaran Austria - Hongaria, Kesultanan Utsmaniyah, Kekaisaran Rusia, Imperium Britania, Republik Perancis, dan Italia. Pembunuhan tanggal 28 Juni 1914 terhadap Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria, pewaris tahta Austria-Hongaria, oleh seorang nasionalis Yugoslavia di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina adalah pencetus perang ini. Pembunuhan tersebut berujung pada ultimatum Habsburg terhadap Kerajaan Serbia. Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang, sehingga dalam hitungan minggu semua kekuatan besar terlibat dalam perang; melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia. Di Asia Tenggara, agresi Jepang membuat perjalanan kapal laut menjadi tidak aman. (Republika.co.id,jakarta)

Pada tahun 1990, Irak menginvasi Kuwait. Invasi ini segera memicu perang besar yang melibatkan sejumlah negara Teluk dan Amerika Serikat. Arab Saudi yang meminta bantuan Amerika Serikat bersedia menjadikan wilayahnya sebagai pangkalan militer. Dari wilayah Saudi, AS menghalau serangan Irak yang juga menargetkan wilayah Saudi. Saat itu, terminal haji di Jeddah dijadikan pusat logistik dan persenjataan sekutu. Pemerintah Indonesia mengantisipasi perang dengan membuka kemungkinan fatwa tak wajib haji Sebab saat itu, harga tiket pesawat naik signifikan. Karena harga Avtur melonjak tinggi. Saat itu, jumlah jamaah haji terdaftar mencapai 79.373 orang degan biaya 6 juta rupiah untuk haji reguler. Perang tersebut akhirnya tak terjadi. Irak mundur dari Kuwait karena desakan negara Teluk lainnya. (Republika.co.id,jakarta)
Lebih Lanjut Baca -  Polemik Gelar HAJI,   Asal Gelar Haji Di Indonesia,  Tekanan Belanda Atas PerhajianSejarah Perhajian Di Nusantara

Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Asal Gelar HAJI di Indonesia

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi. Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya.  Itu merupakan PENGHARGAAN YANG DIBERIKAN BAGI MEREKA YANG MEMPERTARUHKAN JIWA dan RAGA UNTUK MELAKSANAKAN RUKUN HAJI di MEKAH ;

Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia. Tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.

GELAR PARA RAJA ; Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti. Sebagai contoh, legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal mula peradaban dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna "Raja Permulaan". Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi saat di nobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pakuan adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran.

PEMBERIAN IDENTITAS OLEH KOLONIAL BELANDA  ;  Tak hanya Raffles, VOC juga memiliki pandangan serupa, meski sangat didasari kepentingan ekonomi. Tahun 1664, mereka melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Mekkah untuk mendarat di Hindia Belanda. VOC beralasan, "kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius." Kesan negatif tentang haji itu sebagian didasarkan pada persepsi kolonial terhadap orang-orang Arab, yang justru memperoleh penghormatan tinggi dari kaum Muslim di Nusantara. Raffles, dalam sebuah laporan dari Malaka bertanggal 10 Juni 1811, menulis bahwa orang Arab dengan dalih mengajar orang-orang Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muhammad, menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran.

Pandangan Raffles pada gilirannya berperan penting dalam membentuk imaji kolonial tentang Islam dan kaum Muslim. Bersama sejumlah sarjana Inggris lain, seperti William Marsden dan J. Crawfurd, Raffles memelopori studi-studi serius tentang Islam. Gambaran Raffles tentang bahaya politik haji tetap utuh, bahkan menjadi salah satu perhatian kolonial yang utama tentang Muslim Hindia Belanda. "Haji dianggap sebagai sarana di mana spirit pemberontakan menjadi sumber imajinasi keagamaan para haji dari Nusantara," tambah Michael F. Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Wind. Ketakutan Raffles dan pemerintah kolonial secara umum menunjukkan kuatnya pengaruh haji dalam transformasi sosioreligi masyarakat Hindia Belanda.

Dalam konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, dan sempat digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”. Dilatar belakangi oleh gelombang propaganda anti VOC pada 1670-an di Banten, ketika banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran Diponegoro serta Imam Bonjol yang terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang haji, pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan POLITIK ISLAM, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.

Onrust. Salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, 14 km dari Jakarta. Pulau yang semula luasnya 12 ha kini tinggal 7,5 ha akibat abrasi. Mendatangi pulau yang dijadikan taman arkeologi itu dapat dilakukan melalui 3 pelabuhan: Marina Ancol, Angke, dan Muara Kamal. Yang paling dekat melalui pelabuhan Muara Kamal. Dengan menggunakan perahu tradisional dicapai dalam waktu 10 - 15 menit. Maklum, Onrust yang dalam Belanda berarti 'tanpa istirahat' ini, kawasan Kepulauan Seribu yang terdekat dengan pantai Jakarta.

Kisah Onrust dimulai pada awal abad ke-20, ketika terjadi wabah pes di Malang, Jawa Timur, yang semula diduga berasal dari kapal yang membawa jamaah haji dari tanah suci. Ternyata wabah akibat tikus ini berasal dari kapal yang mengangkut beras dari Rangon (kini Yangon), Birma (kini Myammar). Tapi, bagaimana pun Belanda tetap ingin mengkarantina para jamaah haji sepulang mereka dari tanah suci. Dan Onrust yang dianggap sebagai pulau terpencil dipilih sebagai tempat itu.Selama karantina mereka harus tinggal di pulau ini selama lima hari.

Basirun Prawiroatmodjo, yang menjadi jurutulis karantina haji di tahun 1919 dan bertugas di pulau ini hingga 1958, ketika diwawancarai Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengemukakan, para haji yang pulang dari tanah suci pertama kali turun di Pulau Cipir yang bersebelahan dengan Onrust. Para jamaah dicek oleh dua orang petugas. Usai pemeriksaan, para haji itu harus menanggalkan seluruh pakaiannya, diganti dengan pakaian karantina.  kemudian mereka dipersilahkan mandi dan diperiksa oleh seorang dokter.

Bila ada yang membawa bibit penyakit menular diharuskan tinggal di stasiun karantina di Pulau Cipir. Karantina ini dibangun bersamaan dengan karantina di Pulau Onrust (1911). Selama pemeriksaan kesehatan, pakaian pribadi serta kapal pengangkut difumigasi. Para jamaah yang dinyatakan sehat kemudian dibawa ke Onrust. Mereka naik eretan (getek) dari ujung dermaga Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Eretan ini hanya dapat menampung 8-10 orang. Menaikinya cukup berbahaya lebih-lebih bila air pasang. Tapi, sejauh ini tidak ada laporan pernah terjadi kecelakaan seperti terseret gelombang saat menaikinya. Setiba di Onrust dari Cipir, para jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya oleh seorang dokter. Terdapat pula enam orang petugas bangsa Belanda yang turut menangani jamaah haji. Mereka hanya berada di Onrust saat-saat musim haji .(republika.co.id, jakarta )

Dalam berbagai buku sejarah Islam, sampai akhir abad ke-19 banyak terjadi perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Misalnya, kegaduhan di desa-desa sering dilakukan para ulama yang banyak di antaranya adalah haji. Belanda melihat kegaduhan ini dengan mempertimbangkan kepentingan kekuasaannya di Indonesia, sehingga mereka menganggap para haji SEBAGAI ORANG-ORANG FANATIK dan pemberontakan. Sejak lama, masyarakat Belanda di Indonesia takut terhadap tarekat yang berkembang di Indonesia dan dibawa oleh para haji. Apalagi, pada akhir abad ke-19, mukimin Indonesia termasuk yang jumlahnya besar dan banyak di Tanah Suci.
Kehawatiran semacam ini tampak jelas pada;
  • peristiwa Cianjur (1883), Cilegon (1888), dan 
  • Garut (1919). Dalam peristiwa pemberontakan Garut, Sarikat Islam yang baru diresmikan HOS Tjokroaminoto dituduh terlibat. 
  • Pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Tambun (Bekasi) dan 
  • Tangerang pada 1924. Pemberontakan di Tangerang dipelopori sejumlah tokoh di Desa Pangkalan
  • Tangerang. Tokoh-tokoh itu berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan ucapan Allahu Akbar 
Oleh sebab itu Belanda menganggap, gerakan tarekat merupakan bahaya yang berasal dari Gerakan Pan Islam. Gerakan itu dianggap bahaya dari luar. Kala itu, banyak keturunan Arab di Indonesia yang meneruskan gerakan Pan Islam, seperti tokoh-tokoh Said Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammadd Abduh, dan Sayid Rayid Ridha.“Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin meningkatlah fanatisme (Keislaman).” Koran De Locomotief, 1877. Untuk dapat memantau gerakan-gerakan tersebut maka pemerintah kolonial Belanda memberikan Gelar bagi mereka yg pulang naik haji dengan sebutan HAJI.

Gak beda kali ya dengan pengikut / tertuduh / tersangka anggota PKI yang ditahan atau diasingkan dan setelah dibebaskan oleh ORBA / SUHARTO di KTP-nya di beri cap TAPOL

KONTROVERSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun. Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya. Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.

Lebih Lanjut Baca ; Tekanan Belanda Atas Perhajian Sejarah Perhajian Di Nusantara,   Kafilah Haji Dunia Abad Ke-13,   Polemik Gelar HAJI

Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Senin, 22 Juni 2015

Pemikiran Snouck Hurgronje Tentang Islam

Dalam meneliti Islam, ada tiga hal masalah penting yang menarik perhatian Snouck Hurgronje :
–  Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
–  Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang beriman
– Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban universal.

Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsch politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.  Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa “MUSUH KOLONIALISME BUKANLAH ISLAM SEBAGAI AGAMA, MELAINKAN ISLAM SEBAGAI DOKTRIN POLITIK”.

Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis” dan “Universal”. Disamping itu karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an dan Al-Hadits -dalam beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.

Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.  Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.

DALAM BIDANG POLITIK

haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.

DALAM BIDANG AGAMA MURNI DAN IBADAH,

sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan

DIBIDANG SOSIAL KEMASYARAKATAN,

pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.

Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “DEVIDE ET IMPERA” dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke- Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintah kolonial Belanda.  Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit “Wearwenization”. Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan. Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.

Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan bercorak barat dan telah terasosiasikan dengan kebudayaan Eropa, harus diberi kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi setempa. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi. Secara tidak langsung, asosiasi ini juga bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi.

Hal itu dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelopori oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut. Pemerintah kolonial harus menjaga agar proses transformasi asosiasi kebudayaan ini seiring dengan evolusi sosial yang berkembang dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai hegemoni pengaruh dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang program peng-asosiasi-an budaya ini.  Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris hasil budaya asosiasi hasil didikan sistem barat. Akhirnya Indonesia akan diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan kebudayaan Eropa.

Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga tak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama itu telah MAMPU MEREDAM dan MENGURANGI AKSI POLITIK yang digerakkan oleh UMAT ISLAM. Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi motor penggerak gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, diusianya yang ke 81 tahun.

Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang dijuluki `dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang Islam, Lembaga-Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa” menunjukkan “kekurangan-kekurangan” dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk mengenang jasa-jasanya dan kebesarannya. Christiaan Snouck Hurgronje, tokoh penting peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” merupakan “Pembaratan Islam Pribumi” kini diteruskan oleh para pewarisnya di Indonesia (yang dikenal Islam Liberal)

Baca Lengkap Riwayat Hidup dan Kiprah Christiaan Snouck Hurgronje di Indonesia semasa Penjajahan Belanda

Wallahu a’lam bish-shawab
(Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya)
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Christiaan Snouck Hurgronje

Dulu kalau ada orang yang memutar-balik-kan ayat atau memotong-motong ayat sesuai kehendaknya sendiri atau golongannya, langsung saja di caci - maki "Snuk Hurgronye Luh . . ".  loh, emangnya siapa sih itu Snuk Hurgronye itu?

CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE 1857 - 1936

MEMBERIKAN FATWA berdasar kan POLITIK DIVIDE ET IMPERA KOLONIAL dan MENJAUHKAN/ MEMISAHKAN AGAMA (ISLAM) dari POLITIK. Tokoh yang sangat kontroversial. Disanjung sebagai SARJANA ISLAM yang cemerlang, tetapi juga DICACI MAKI sebagai seorang ahli muslihat yang hendak MENGHANCURKAN ISLAM dari dalam dengan PURA2 MASUK ISLAM. Betapapun diakui oleh semua pihak bahwa pemerintah belanda, baru mempunyai garis kebijaksanaan tentang islam didaerah jajahannya yang bernama hindia belanda (indonesia) setelah SNOUCK HURGRONJE menjadi penasehat pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan islam

Namun ada satu hal yang perlu juga dikagumi bahwa dialah yang pertamakali merekam ayat suci Al Quran Surat Adh Dhuha, pada Tahun 1885M atau 1302 H. (Baca dan Lihat Videonya Disini)

Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.  Pada saat itu ia MENYATAKAN KE-ISLAM-ANNYA dan mengucapkan Syaha dat didepan khalayak dengan nama “ABDUL GHAFFAR.”Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, ulama Mekah telah mengakui keIslaman Anda"

Ada cerita bahwa H Hasan Mustapa-lah yang mengislamkan Snouck Hurgronje. Tapi cerita yang lebih dapat diterima mestinya Aboebakar Djajadiningratlah–paman Pangeran Ahmad Djajadiningrat dan Prof Dr Hoesein Djajadiningrat–yang mengislamkannya atau yang mengatur pengislamannya.  Pada waktu itu, Aboebakar Djajadiningrat bekerja di Kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Dialah yang banyak memberikan bahan-bahan tentang Mekkah sehingga Snouck Hurgronje berhasil menulis bukunya Mekka dalam bahasa Jerman dua jilid yang dipuji banyak orang–dan Snouck samasekali tidak menyebut Aboebakar Djajadiningrat sebagai sumbernya.Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.

RIWAYAT HIDUP

CHRISTIAAN SNOUCK HURGRO NJE, lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun, adalah seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ia menjadi mahasiswa teologi di Universitas Leiden pada tahun 1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest' ("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.

Snouck, yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk. Setelah berhasil menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dia adalah salah satu sarjana budaya Oriental Barat pertama yang melakukannya. Sebagai wisatawan perintis, ia adalah orang langka asal Barat yang berada di Mekkah, tetapi memeluk budaya dan agama dengan penuh gairah sehingga ia berhasil membuat kesan kepada orang-orang bahwa ia MASUK ISLAM. Dia mengaku BERPURA-PURA menjadi MUSLIM (HIPOKRIT) seperti yang ia jelaskan dalam surat yang dikirim ke teman kuliahnya, Carl Bezold pada 18 Februari 1886 yang kini diarsipkan di Perpustakaan Universitas Heidelberg.

Pada tahun 1889 ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme. Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913). Dia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar 50.000 dan 100.000 penduduk tewas dan sekitar satu juta terluka. Kesuksesannya dalam PERANG ACEH membuatnya mendapatkan pengaruh dalam membentuk kebijakan pemerintahan kolonial sepanjang sisa keberadannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 Kembali di Belanda Snouck melanjutkan karier akademis yang sukses.

ASAL MUASAL

Ketika koloni Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) didirikan pada tahun 1800, agama monoteistik dominan bagi sebagian besar masyarakat adat di Hindia Nusantara yang adalah Islam. Karena sinkretisme agama yang kuat, bentuk Islam dicampur dengan unsur-unsur dari agama yang lebih tua. Pedagang Arab dan peziarah haji yang kembali dari Mekkah, banyak dinyatakan interpretasi Islam yang lebih ortodoks. Hal ini menyebabkan munculnya varian ketat dari Islam dengan sebutan 'santri' dengan muslim yang lainnya disebut "abangan".

Kebanyakan gereja-gereja Kristen berpegang pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Protestan dan Katolik misi menunjukkan interpretasi dalam mengikuti strategi pemerintah, tapi tetap menikmati otonomi yang cukup. Selain itu kolonialisme Belanda tidak pernah didasarkan pada kefanatikan agama. Namun selama abad ke-19 misionaris Kristen menjadi semakin aktif, secara teratur mengarah ke bentrokan atau gesekan, antara Kristen dan Islam dan antara denominasi Kristen yang berbeda.

Hubungan antara pemerintah dan Islam dalam keadaan tidak nyaman. Kekuatan kolonial Belanda menggunakan prinsip pemisahan gereja dan negara dan ingin tetap netral dalam urusan agama. Namun yang sama pentingnya adalah keinginan untuk menjaga perdamaian dan ketertiban yang mana Islam adalah sumber awal inspirasi untuk memberontak melawan pemerintahan kolonial. Motif sosial dan politik terkait dengan keinginan agama berulang kali meledak menjadi kerusuhan dan perang seperti Perang Padri(1821-1837) dan Perang Aceh (1873-1904) di Sumatera.

MASA DI HINDIA BELANDA

Pada 1871, Gubernur Jenderal kolonial mengandalkan sebuah penasihat untuk urusan adat untuk mengelola ketegangan ini. Karena keahliannya dalam bahasa Arab dan Islam, Prof.Dr. Snouck Hurgronje bertugas dalam kapasitas ini antara 1889 dan 1905. Nasihatnya keseluruhan adalah untuk campur tangan sesedikit mungkin dalam urusan agama dan memungkinkan kebebasan optimal terhadap agama. Hanya manifestasi politik Islam itu yang harus dilawan. Meskipun sarannya dilaksanakan dan dipandu kebijakan kolonial pada tahun-tahun mendatang, munculnya SAREKAT ISLAM pada tahun 1912 menjadi kemunculan PARTAI POLITIK Hindia pertama yang berdasarkan PRINSIP-PRINSIP ISLAM. Bercita-cita untuk mereformasi kebijakan kolonial Belanda, Snouck pindah ke Hindia Belanda pada tahun 1889. Snouck awalnya ditunjuk sebagai peneliti pendidikan Islam di Buitenzorg dan profesor bahasa Arab di Batavia pada tahun 1890. Meskipun pada awalnya ia tidak diizinkan untuk mengunjungi Aceh di Sumatera, ia menolak tawaran untuk kembali ke Eropa dari Universitas Leiden dan Universitas Cambridge.

Antara 1891-1892, Snouck yang saat itu telah fasih berbahasa Aceh, Melayu dan Jawa akhirnya pergi ke Aceh yang hancur oleh Perang Aceh yang berkepanjangan. Dia masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun berjalan tanpa penghalang. Di bawah nama "HAJI ABDUL GHAFFAR", ia membangun sebuah hubungan kepercayaan dengan unsur agama penduduk di wilayah ini. Dalam laporan tentang situasi agama-politik di Aceh, Snouck sangat menentang penggunaan TAKTIK TEROR MILITER terhadap rakyat Aceh dan sebaliknya menganjurkan SPIONASE TERORGANISIR SISTEMATIS dan memenangkan dukungan dari ELIT ARISTOKRAt. Namun Ia melakukan dengan mengidentifikasi SARJANA RADIKAL MUSLIM (ULAMA) yang akan menyerah dengan menunjukkan kekuatan.

Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891 dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.

Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi FATWA-FATWA itu berdasarkan POLITIK DIVIDE ET IMPERA. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk MENJAUHKAN AGAMA DAN POLITIK. Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.

Pada tahun 1898 Snouck menjadi penasihat terdekat Kolonel Van Heutsz dalam "menenangkan" Aceh dan nasihatnya berperan dalam membalikkan keberuntungan Belanda dalam mengakhiri Perang Aceh yang berlarut-larut. Hubungan antara Heutsz dan Snouck memburuk ketika Heutsz terbukti tidak mau menerapkan ide Snouck untuk administrasi dan etika tercerahkan.

Pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Snouck terpaksa membalikkan metode dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Ini menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk. Di tahun yang sama, Snouck MENIKAHI WANITA PRIBUMI LAIN dan memiliki seorang putra pada tahun 1905. Kecewa dengan kebijakan kolonial, ia kembali ke Belanda tahun depan untuk melanjutkan karier akademis yang sukses.

Kembali di Belanda Snouck diterima beberapa profesor di Universitas Leiden, termasuk bahasa Arab, bahasa Aceh dan pendidikan Islam. Dia terus menghasilkan banyak studi akademis yang rumit dan menjadi otoritas internasional pada semua hal yang berkaitan dengan dunia Arab dan agama Islam. Saran ahli tentang isu-isu mendesak sering dicari oleh negara-negara Eropa lainnya dan banyak karyanya sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis dan Inggris. Pada tahun 1925 ia bahkan menawarkan guru besar di Mesir Universitas Nasional bergengsi di Kairo, universitas utama di Timur Tengah. Pada tahun 1927 ia mengundurkan diri sebagai Rektor magnificus dan profesor, tapi tetap aktif sebagai penasihat hingga kematiannya di Leiden pada 1936.

Selama dan setelah masa akademisnya Snouck tetap menjadi penasihat kolonial progresif dan kritikus. Visi reformis untuk memecahkan tantangan hubungan abadi antara Belanda dan Hindia didasarkan pada prinsip asosiasi. Untuk mencapai hubungan masa depan ini dan mengakhiri pemerintahan dualis ada Hindia Belanda, ia menganjurkan otonomi peningkatan melalui pendidikan barat elit pemerintahan adat. Pada tahun 1923 ia menyerukan: "reformasi Kuat dari konstitusi Hindia Belanda" di mana "kita harus istirahat dengan konsep inferioritas moral dan intelektual pribumi" dan memungkinkan mereka "tubuh demokratis yang bebas dan representatif dan otonomi optimal". Unsur-unsur konservatif di Belanda bereaksi dengan membiayai sebuah sekolah alternatif bagi Pegawai Negeri Sipil di Colonial Utrecht.

KEHIDUPAN KELUARGA

Snouck Hurgronje MENIKAH 4 KALI.

1) Yang pertama adalah dengan seorang wanita di Jeddah.

2) Pada tahun 1890, ia menikah dengan Sangkana, PUTRI SEORANG BANGSAWAN PRIBUMI, puteri Raden Haji Mohammad Taik, penghulu di Ciamis dan dikaruniai 4 orang anak. Sayang, pada tahun 1896, saat mengandung anak ke-5, Sangkana keguguran dan meninggal bersama bayi yang dikandungnya. Karena kontroversi di Belanda, Snouck menyebut pernikahan ini sebagai "KESEMPATAN ILMIAH" untuk mempelajari dan menganalisis upacara pernikahan Islam. EMPAT ANAK telah lahir dari pernikahan ini.

3) Tak sampai 2 tahun kemudian, Snouck Hurgronje menikah lagi. Kali ini dengan Siti Sadiah, puteri Kalipah Apo, wakil penghulu di Bandung. Dari pernikahan itu mereka dikarunai seorang anak bernama Raden Joesoef. Namun setelah itu, Snouck Hugronje dipanggil pulang ke Belanda. Raden Joesoef sendiri memiliki 11 orang anak. Yang paling sulung adalah EDDY JOESOEF, PEMAIN BULU TANGKIS YANG PADA TAHUN 1958 berhasil merebut Piala Thomas di Singapura.

4) Pengembaraannya berakhir 1906 dan kembali ke Belanda. Pada 1910, di Belanda, ia kawin dengan Ida Maria, putri seorang pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Setelah dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Leiden pada 1907 (tiga tahun setelah menikah), ia menekuni profesi sebagai penasihat Menteri Urusan Koloni. Pekerjaan ini diemban hingga akhir hayatnya, 16 Juli 1936.

(Catatan ; Pemain SEPAK BOLA BELANDA, ALBERT SNOUCK HURGRONJE, adalah keponakan Christiaan Snouck Hurgronje dari adik sepupunya Antony Emile Snouck Hurgronje).

(Baca Juga ; Pemikiran Snouck Hurgronje Tentang Islam)
(Baca Juga ; Per-Haji-an Sejak 1880).

Wallahu a’lam bish-shawab
(Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya)
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Rekaman Al Qur'an Tertua 1885

CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE 1857 - 1936  ;  yang pertamakali merekam ayat suci Al Quran Surat Adh Dhuha, pada Tahun 1885M atau 1302 H. Simak rekamannya dibawah ini




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم - Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang.
1. وَالضُّحَى - Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
2. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى - dan demi malam apabila telah sunyi,
3. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى - Tuhanmu tiada mengabaikan kamu dan tiada (pula) membencimu,
4. وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى - dan pasti, hasil itu lebih baik bagimu daripada permulaan.
5. وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى - Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya untukmu, supaya kamu bersyukur.
6. أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى - Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
7. وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى - Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kebingungan, lalu Dia membimbingmu.
8. وَوَجَدَكَ عَائِلا فَأَغْنَى - Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia menjadikanmu kaya.
9. فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ - Oleh karena itu, terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
10. وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ - Dan terhadap pengemis, janganlah kamu berlaku kasar.
11. وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ - Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.

Baca Lebih Lengkap Riwayat Hidup dan Kiprah Christiaan Snouck Hurgronje semasa Penjajahan Belanda di Indonesia

Wallahu a’lam bish-shawab
(Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya)
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Senin, 15 Juni 2015

Kisah Terbunuhnya MUSO

Alih-alih mereorganisasi perlawanan , kekuatan komunis yang dipimpin oleh Musso itu malah kocar-kacir. Untuk menghindari pengejaran tentara pemerintah, Musso sendiri memutuskan menghilang. Dan untuk beberapa minggu upayanya itu berhasil: tentara pemerintah
tak bisa mengendus keberadaan agen komunis internasional tersebut. Hingga tibalah pada 31 Oktober 1948. Para petugas keamanan Desa Balong mencurigai seorang lelaki priyayi dalam penampilan sederhana tengah berjalan seorang diri.

Ketika dihentikan, awalnya lelaki tersebut sangat kooperatif. Ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kedua petugas tersebut dan memberikan selembar surat keterangan jalan. Namun ketika salah satu dari petugas itu merampas buntelan sarung yang ia bawa, tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol dan langsung menembak sang perampas. Usai menembak, ia lantas kabur dengan sepeda ontel milik salah seorang petugas desa itu. Di tengah jalan, ia bertemu dengan sebuah dokar dan di bawah ancaman pistol, kusir dokar tersebut dipaksa untuk membawanya dalam kecepatan tinggi.

Dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia VIII, A.H. Nasution menceritakan tentara setempat kemudian cepat berkoordinasi menanggapi kejadian di Desa Balong itu. Sementara itu di tengah perjalanan, dokar yang ditumpangi lelaki yang tak lain adalah Musso tersebut berpapasan dengan sebuah mobil yang ditumpangi oleh serombongan prajurit dari Batalion Sunandar.

Begitu melihat mobil tersebut, dengan sigap, Musso meloncat dan langsung menodongkan senjatanya ke arah para penumpang.  Kendati para prajurit itu bersenjara, todongan senjata Musso lebih cepat. Terpaksalah mereka menuruti perintah Musso untuk meninggalkan mobil tersebut. Musso sendiri dengan cepat langsung duduk di belakang kemudi. Namun dasar sial, ketika distater mobil itu tiba-tiba tak mau hidup. Melihat situasi tersebut salah satu dari prajurit itu lantas meraih sten di bagian belakang mobil dan langsung menodongkannya ke arah Musso.
"Keluar dari mobil dan menyerahlah!" teriaknya.
Musso dengan tenang keluar dari ruang kemudi. Dalam tatapan tajam bak singa siap bertarung, ia justru membalas teriakan sang prajurit dengan kata-kata yang pelan namun tegas:
"Engkau tahu siapa saya?! Saya Musso! Engkau baru kemarin jadi prajurit dan sekarang berani-beraninya meminta saya untuk menyerah pada engkau?! Tidak! Saya tidak akan menyerah! Lebih baik mati daripada menyerah! Walau bagaimanapun saya tetap merah putih!"

Menyaksikan sikap Musso yang sangat percaya diri dan berwibawa, para prajurit itu menjadi keder. Alih-alih memberondong tubuh Musso dengan sten, mereka justru melarikan diri menuju desa terdekat. Beberapa saat kemudian, perburuan pun dimulai. Musso yang melarikan diri ke sebuah kampung kemudian memilih sebuah kamar mandi untuk tempatnya bertahan sekaligus bersembunyi.  Kapten Sumadi yang memimpin perburuan itu, lantas mengepung tempat tersebut dan meneriakan kata-kata agar Musso menyerahkan diri. Alih-alih menyerah, kata-kata Sumadi malah dijawab Musso dengan tembakan. Maka tanpa ampun para prajurit itu kemudian memberondong kamar mandi tersebut dan usai menghentikan tembakan beberapa menit kemudian, mereka menemukan tubuh sang pemimpin pemberontakan itu tengah terkapar dalam genangan darah.

Musso kemudian diberitakan tewas. " Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo dan setelah dipertontonkan ke khalayak kemudian dibakar

Minggu, 14 Juni 2015

Pemberontakan PKI Madiun 1948

PERISTIWA MADIUN 18 Sept. 1948 ; Sesudah Pekan Olah Raga Nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun.
Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria.  Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain).

Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.. Pada saat itu hingga era Orde Lama, peristiwa ini dinamakan PERISTIWA MADIUN, dan tidak pernah disebut sebagai PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI). Baru di era Orde Baru, peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.

LATAR BELAKANG

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk sayap kiri atau golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol. Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), LETKOL. SOEHARTO (Komandan Brigade X, Divisi III kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III dan kemudian PRESIDEN RI), Letkol. Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Oentoeng Samsoeri.

Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, MUSO, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara LAIN AMIR SJARIFUDDIN HARAHAP, SETYADJIT SOEGONDO dan KELOMPOK DISKUSI PATUK. Beberapa aksi yang dijalankan kelom pok ini diantaranya dengan melancarkan Propaganda Anti Pemerintah,  Mengadakan Demonstrasi, Pemogokan, Menculik dan Membunuh Lawan-lawan Politiknya, serta Menggerakkan Kerusuhan dibeberapa tempat. Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh. Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi yang sering menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.

Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan.

Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak. Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh AMERIKA SERIKAT untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.

Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi politik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI - FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan KEKALAHAN POLITIKNYA didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. PEMERINTAH DITUDUHNYA TERUS MENGALAH PADA KAUM KAPITALIS-REAKSIONER. segala usaha dilakukan untuk MENJATUHKAN PEMERINTAHAN Kabinet Hatta.

Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya.

Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu.

Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri .

Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap.

Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara..  Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto

Tindak kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 yang disaksikan puluhan ribu penduduk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak yang menonton pengangkatan jenazah para korban dari sumur-sumur "neraka" yang tersebar di Magetan dan Madiun, adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan  Tiga puluh tahun mendahului Pol Pot di Kamboja, Musso di Madiun sempat memberikan petunjuk atau mungkin juga pelatihan penyiksaan gaya mentornya Josef Stalin ketika dia memimpin pengkhianatan PKI Madiun, September 1948.

* Dubur (maaf) warga desa di Pati dan Wirosari ditusuk bambu runcing dan mayat mereka ditancapkan di tengah sawah hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi, seorang wanita, (maaf) ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan di tengah sawah.

* Algojo PKI merentangkan tangga melintang sumur, lalu Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika dalam posisi terlentang itu, maka algojo menggergaji badannya sampai putus menjadi dua bagian, dan langsung dijatuhkan ke dalam sumur.

* Seorang ibu, Nyonya Sakidi mendengar suaminya dibantai PKI di Soco. Dia menyusul kesana, sambil menggendong 2 orang anaknya, umur 1 tahun dan 3 tahun. Dia nekad minta melihat jenazah suaminya. Repot melayaninya, PKI sekalian membantai perempuan malang itu, dimasukkan ke dalam sumur yang sama, sementara kedua anaknya melihat pembunuhan ibunya. Saking traumanya kedua anak tersebut selama berhari-hari hanya makan kembang, akhirnya adik Sakidi menyelamatkan kedua keponakannnya itu dan membawanya pergi

TRAGEDI PESANTREN TAKERAN

Aksi pemberontakan PKI dalam Madiun Affair 1948 menjadikan pesantren sebagai sasaran utama yang harus dibasmi. Sebab, pesantren dianggap sebagai basis kekuatan masyumi yang menjadi musuh besar PKI. Di lain pihak pada tahun-tahun menjelang pemberontakan PKI, pimpinan Uni Soviet Stalin sedang gencar mencengkeramkan kukunya pada umat Islam di Asia Tengah yang menyebabkab berjuta-juta umat islam terbunuh atau dibuang ke Siberia. Sebagai murid Stalin yang setia, Muso tidaklah berlebihan ketika mempriori taskan aksinya dipesantren

Sejarah telah mencatat kelicikan-kelicikan PKI yang menculik satu demi sartu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati”. PKI memang berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan. Salah satu pesantren incaran PKI adalah Takeran. Pesantren ini secara geografis sangat dekat dengan Gorang Gareng sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren Takeran adalah rangkaian pembantaian PKI yang terjadi di Gorang Gareng. Pesantren Takeran atau dikenal dengan pesantren  Sabilil  Muttaqien  di pimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun.

Pesantern Takeran merupakan salah satu pesantren yang paling berwibawa di Magetan kerena pemimpinnya mempunyai pengaruh yang sangat besar karena Kyai Imam Mursjid juga bertindak sebagai Imam tarekat Syatariyah.  Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren itu terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan yaitu di dalam pesantren Takeran mamang aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri. Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jum’at Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo pergi ke Burikan. Setelah kepergian mereka seusai sholat Jum’at, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Saat itu Kiai Imam Mursjid diajak bermusyawarah mengenai republik Soviet Indonesia. Kepergian pemimpin pesantren mereka menimbulkan tanda tanya besar, dua hari kemudian keberadaan iai Imam Mursjid belum diketahui secara pasti. PKI terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada ustadz-ustadz yang lain seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Mereka tidak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembatantaian yang tersebar di berbagai tempat di magetan. Yang menimbulkan keheranan adalah sampai sekarang adalah tempat pembantaian Kiai Mursjid yang belum diketahui sampai sekarang karena mayatnya belum dapat ditemukan. Bahkan dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Mursjid.

KONTROVERSI SEJARAH

Namun sebagaimana kebanyakan sejarah di negeri kita ini, dimana setiap peristiwa ada berbagai versi maka peristiwa Madiun inipun demikian pula. Sampai sekarang masih ada yang mengatakan bahwa Peristiwa Madiun sama sekali bukanlah pemberontakan PKI apalagi bahwa PKI telah mendirikan Negara Soviet Madiun, itu adalah fitnah dan merupakan rekayasa jahat pemerintah Hatta guna mendapatkan momen (kondisi dan situasi) yang tepat untuk dapat digunakan sebagai dalih (dasar) untuk menyingkirkan (membasmi) golongan kiri dari pemerintahan maupun angkatan perang, yang kemudian mendapat perlawanan dari rakyat yang konsekuen anti kolonialis/imperialis.  Dasar pemikiran ini mengacu pada satu bagian dari sejarah peristiwa Madiun ini ;

1) KETERLIBATAN SOEHARTO

Salah satu fakta penting yang juga terungkap adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto yg pada saat itu masih berpangkat LetKol, adalah utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun. SOEMARSONO, Guber nur Militer (?) yg mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan ABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dan berhasil melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan polisi militer di barak-barak mereka sendiri, langsung yang menemui SOEHARTO dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun, serta meninjau tahanan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’.  Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung.  Laporan itu harusnya di bawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.  Di sinilah MISTERIUS itu terjadi . Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ketangan pimpinan TNI saat itu yaitu Jendral Soedirman atau tidak.  Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta

2) PENGAKUAN DE JURE MASYARAKAT INTERNASIONAL ATAS REPUBLIK INDONESIA ;

Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Adanyan rumor ; Kabinet Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Hal ini berkaitan dengan syarat oleh pihak Barat supaya Republik Indonesia mendapatkan pengakuan de jure masyarakat internasional

3) PENENTANGAN SUPREMASI SIPIL OLEH TNI

Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep DWI FUNGSI TNI (yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.) dibawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga pihak yang menentang “Dwi Fungsi TNI” yaitu AMIR SJARIFUDDIN (Menteri Pertahanan).  Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap, sehingga Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA)  Itu pula salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ ide dan pemikiran Amir yang menentang apa yang kita kenal sebagai DWI FUNGSI TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk MEMBUNGKAM DEMOKRASI.

4) TINDAKAN PENUMPASAN PKI OLEH MILITER

Banyak kontroversi dalam aksi penumpasan pemberontakan, diantaranya militer menggunakan cara-cara yang sama kejinya dengan aksi pemberontakan itu sendiri, berikut beberapa foto tahap-tahap eksekusi para tokoh dan rakyat yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun, yang tidak diberitahukan dalam pendidikan sejarah

(Klik Gambar Memperbesar)

CATATAN TAMBAHAN

Setelah Orde Baru tumbang (21 Mei 1998), semakin terang adanya upaya pemutarbalikkan fakta tentang kekejaman PKI. Upaya itu dilakukan dalam berbagai bentuk publikasi, termasuk penulisan buku-buku, terang-terangan semakin mengaburkan sejarah kelam itu. Berbagai publikasi yang dilakukan orang-orang bekas PKI menyebut, pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, hanya merupakan provokasi Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang ketika itu merangkap sebagai Perdana Menteri.

Upaya pengaburan sejarah, diantaranya ; rancangan Kurikulum Pendidikan Sejarah Nasional (PSN) tahun 2004, secara sengaja menghilangkan dua peristiwa; Pemberontakan PKI September 1948 dan Gerakan 30 September (G30S) PKI 1965. Sebaliknya justru banyak mengurai pemberontakan DI/TII. Sejumlah tokoh Islam, gigih melancarkan protes terhadap rencana penerapan kurikulum itu, dan protes ini berhasil menggagalkan penerapan kurikulum PSN “keblinger” itu. Diantara tokoh Islam itu; (Alm) Allahuyarkham KH. Yusuf Hasyim---Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, kemudian KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Pengasuh Perguruan Islam Asy Syafi’iyah, Balimatraman Jakarta Selatan, ada pula Sastrawan Taufiq Ismail dan sejumlah tokoh lainnya.

P E N U T U P

Sejarah adalah sejarah dan semuanya kembali pada kepentingan masing-masing pihak yang berkuasa. Oleh sebab itu, kita harus mencari berbagai sumber untuk menambah pengetahuan dan fakta kita soal peristiwa tersebut.

Kita berharap sejarah hitam ini tidak akan terulang kembali dalam sejarah bangsa Indonesia kita tercinta. Selama kita memperkuat RASA PERSATUAN, bersikap TERBUKA menerima PERBEDAAN SUKU, AGAMA, RAS dan mau menyampaikan aspirasi dengan cara kondusif, dengan IZIN TUHAN YME, percayalah bangsa Indonesia akan tampil sebagai bangsa yang kuat.

MARI KITA BERDOA:

1) Bagi para KORBAN KEGANASAN PEMBERONTAKAN PKI Madiun, Tuhan berkenan menerima mereka disisiNya.
2) Bagi PARA PELAKU PEMBERONTAKAN maupun ALGOJO EKSEKUTOR, semoga Tuhan mengampuninya.
3) Bagi KORBAN FITNAH yang tanpa melalui penyelidikan maupun pengadilan, dieksekusi, Semoga Tuhan berkenan menerima arwah mereka dalam cahaya Illahi

Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)