Selasa, 23 Juni 2015

Asal Gelar HAJI di Indonesia

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi. Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya.  Itu merupakan PENGHARGAAN YANG DIBERIKAN BAGI MEREKA YANG MEMPERTARUHKAN JIWA dan RAGA UNTUK MELAKSANAKAN RUKUN HAJI di MEKAH ;

Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia. Tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.

GELAR PARA RAJA ; Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti. Sebagai contoh, legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal mula peradaban dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna "Raja Permulaan". Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi saat di nobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pakuan adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran.

PEMBERIAN IDENTITAS OLEH KOLONIAL BELANDA  ;  Tak hanya Raffles, VOC juga memiliki pandangan serupa, meski sangat didasari kepentingan ekonomi. Tahun 1664, mereka melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Mekkah untuk mendarat di Hindia Belanda. VOC beralasan, "kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius." Kesan negatif tentang haji itu sebagian didasarkan pada persepsi kolonial terhadap orang-orang Arab, yang justru memperoleh penghormatan tinggi dari kaum Muslim di Nusantara. Raffles, dalam sebuah laporan dari Malaka bertanggal 10 Juni 1811, menulis bahwa orang Arab dengan dalih mengajar orang-orang Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muhammad, menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran.

Pandangan Raffles pada gilirannya berperan penting dalam membentuk imaji kolonial tentang Islam dan kaum Muslim. Bersama sejumlah sarjana Inggris lain, seperti William Marsden dan J. Crawfurd, Raffles memelopori studi-studi serius tentang Islam. Gambaran Raffles tentang bahaya politik haji tetap utuh, bahkan menjadi salah satu perhatian kolonial yang utama tentang Muslim Hindia Belanda. "Haji dianggap sebagai sarana di mana spirit pemberontakan menjadi sumber imajinasi keagamaan para haji dari Nusantara," tambah Michael F. Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Wind. Ketakutan Raffles dan pemerintah kolonial secara umum menunjukkan kuatnya pengaruh haji dalam transformasi sosioreligi masyarakat Hindia Belanda.

Dalam konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, dan sempat digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”. Dilatar belakangi oleh gelombang propaganda anti VOC pada 1670-an di Banten, ketika banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran Diponegoro serta Imam Bonjol yang terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang haji, pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan POLITIK ISLAM, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.

Onrust. Salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, 14 km dari Jakarta. Pulau yang semula luasnya 12 ha kini tinggal 7,5 ha akibat abrasi. Mendatangi pulau yang dijadikan taman arkeologi itu dapat dilakukan melalui 3 pelabuhan: Marina Ancol, Angke, dan Muara Kamal. Yang paling dekat melalui pelabuhan Muara Kamal. Dengan menggunakan perahu tradisional dicapai dalam waktu 10 - 15 menit. Maklum, Onrust yang dalam Belanda berarti 'tanpa istirahat' ini, kawasan Kepulauan Seribu yang terdekat dengan pantai Jakarta.

Kisah Onrust dimulai pada awal abad ke-20, ketika terjadi wabah pes di Malang, Jawa Timur, yang semula diduga berasal dari kapal yang membawa jamaah haji dari tanah suci. Ternyata wabah akibat tikus ini berasal dari kapal yang mengangkut beras dari Rangon (kini Yangon), Birma (kini Myammar). Tapi, bagaimana pun Belanda tetap ingin mengkarantina para jamaah haji sepulang mereka dari tanah suci. Dan Onrust yang dianggap sebagai pulau terpencil dipilih sebagai tempat itu.Selama karantina mereka harus tinggal di pulau ini selama lima hari.

Basirun Prawiroatmodjo, yang menjadi jurutulis karantina haji di tahun 1919 dan bertugas di pulau ini hingga 1958, ketika diwawancarai Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengemukakan, para haji yang pulang dari tanah suci pertama kali turun di Pulau Cipir yang bersebelahan dengan Onrust. Para jamaah dicek oleh dua orang petugas. Usai pemeriksaan, para haji itu harus menanggalkan seluruh pakaiannya, diganti dengan pakaian karantina.  kemudian mereka dipersilahkan mandi dan diperiksa oleh seorang dokter.

Bila ada yang membawa bibit penyakit menular diharuskan tinggal di stasiun karantina di Pulau Cipir. Karantina ini dibangun bersamaan dengan karantina di Pulau Onrust (1911). Selama pemeriksaan kesehatan, pakaian pribadi serta kapal pengangkut difumigasi. Para jamaah yang dinyatakan sehat kemudian dibawa ke Onrust. Mereka naik eretan (getek) dari ujung dermaga Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Eretan ini hanya dapat menampung 8-10 orang. Menaikinya cukup berbahaya lebih-lebih bila air pasang. Tapi, sejauh ini tidak ada laporan pernah terjadi kecelakaan seperti terseret gelombang saat menaikinya. Setiba di Onrust dari Cipir, para jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya oleh seorang dokter. Terdapat pula enam orang petugas bangsa Belanda yang turut menangani jamaah haji. Mereka hanya berada di Onrust saat-saat musim haji .(republika.co.id, jakarta )

Dalam berbagai buku sejarah Islam, sampai akhir abad ke-19 banyak terjadi perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Misalnya, kegaduhan di desa-desa sering dilakukan para ulama yang banyak di antaranya adalah haji. Belanda melihat kegaduhan ini dengan mempertimbangkan kepentingan kekuasaannya di Indonesia, sehingga mereka menganggap para haji SEBAGAI ORANG-ORANG FANATIK dan pemberontakan. Sejak lama, masyarakat Belanda di Indonesia takut terhadap tarekat yang berkembang di Indonesia dan dibawa oleh para haji. Apalagi, pada akhir abad ke-19, mukimin Indonesia termasuk yang jumlahnya besar dan banyak di Tanah Suci.
Kehawatiran semacam ini tampak jelas pada;
  • peristiwa Cianjur (1883), Cilegon (1888), dan 
  • Garut (1919). Dalam peristiwa pemberontakan Garut, Sarikat Islam yang baru diresmikan HOS Tjokroaminoto dituduh terlibat. 
  • Pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Tambun (Bekasi) dan 
  • Tangerang pada 1924. Pemberontakan di Tangerang dipelopori sejumlah tokoh di Desa Pangkalan
  • Tangerang. Tokoh-tokoh itu berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan ucapan Allahu Akbar 
Oleh sebab itu Belanda menganggap, gerakan tarekat merupakan bahaya yang berasal dari Gerakan Pan Islam. Gerakan itu dianggap bahaya dari luar. Kala itu, banyak keturunan Arab di Indonesia yang meneruskan gerakan Pan Islam, seperti tokoh-tokoh Said Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammadd Abduh, dan Sayid Rayid Ridha.“Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin meningkatlah fanatisme (Keislaman).” Koran De Locomotief, 1877. Untuk dapat memantau gerakan-gerakan tersebut maka pemerintah kolonial Belanda memberikan Gelar bagi mereka yg pulang naik haji dengan sebutan HAJI.

Gak beda kali ya dengan pengikut / tertuduh / tersangka anggota PKI yang ditahan atau diasingkan dan setelah dibebaskan oleh ORBA / SUHARTO di KTP-nya di beri cap TAPOL

KONTROVERSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun. Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya. Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.

Lebih Lanjut Baca ; Tekanan Belanda Atas Perhajian Sejarah Perhajian Di Nusantara,   Kafilah Haji Dunia Abad Ke-13,   Polemik Gelar HAJI

Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Tidak ada komentar: