Jumat, 24 Juli 2015

Naik Haji Tempo Doeloe

Bagi umat Islam di Indonesia, keinginan menunaikan rukun Islam ini tidak terbendung, termasuk di masa-masa penjajahan. Menunaikan ibadah haji makin besar jumlahnya, terutama sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan disusul dengan adanya kapal uap.

Berdasarkan laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda ; pada 1878 (dengan kapal layar) jamaah haji Indonesia sekitar 5.331 orang. Setahun kemudian (1880), menjadi 9.542 jamaah atau naik hampir dua kali lipat. Pada 1921 sebanyak 28.795 jamaah indonesia dari 60.786 jamaah seluruh dunia yang pergi menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat resesi ekonomi pada 1928 jamaah haji Indonesia justru meningkat menjadi 28.952 dari 52.412 jamaah seluruh dunia. Masih dalam krisis ekonomi global (1931, 1932, dan 1932) jamaah haji Indonesia justru berjumlah di atas 39 ribu orang. 

Untuk membuktikan pergi haji telah dilakukan selama berabad-abad lalu dapat kita lihat dari banyaknya mukimin yang menjadi syekh ketika sistem ini diberlakukan dan baru berakhir pada 1980-an. Di antara keturunan mereka ada yang memegang jabatan penting di Arab Saudi. Pada 1974, kebanyakan mereka tidak lagi pandai berbahasa Indonesia.
Ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini. Konon, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar.

Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.. Saat bisa meninggalkan Indonesia, mereka singgah di Singapura atau Penang (Malaysia). Di tempat tersebut, umat Islam Indonesia yang ingin berhaji ini rela menjadi pekerja kasar. Ada yang menjadi tukang kebun, menggarap sawah, dan lainnya demi satu tujuan, yaitu berkunjung ke Baitullah.  Oleh sebab itulah sebagaimana dikemukan diatas, karena beratnya menunaikan ibadah haji mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci. 


Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)

Tidak ada komentar: