Rabu, 22 Juli 2015

Perang Bubat, sebuah Kontroversi

PERANG BUBAT ; sejarah atau rekayasa kolonial Belanda ?  Sebuah kisah yang mestinya dapat dijadikan hikmah betapa jahatnya AMBISI PRIBADI  PENGUASAdan KEKUASAAN dapat menyebabkan terjadinya sebuah TRAGEDI KECELAKAAN
POLITIK yang sangat menarik sekali untuk dibahas.

Lantas bagaimana kalau keduabelah pihak (Pihak Sunda dan Jawa) meng-klaim versi mereka sendiri-sendiri atau yang lebih serunya Bagaimana bila Karya Perang Bubat yang mashur dan berdarah-darah itu hanyalah PELINTIRAN SEJARAH oleh KOLONIAL BELANDA???  Dengan kata lain PERANG BUBAT itu sebenarnya hanyalah suatu perbedaan pendapat antara dua kerajaan pada waktu itu atau hanya perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, NAMUN TIDAK SAMPAI MENIMBULKAN KORBAN JIWA.

Belanda melakukan ROMANTISME TRAGIS TENDENSIUS ini untuk MEMBENTURKAN ; MENGADU DOMBA dua etnis besar Nusantara (JAWA DAN SUNDA) agar tidak terjadi kesatuan dan persatuan Nusantara. Dan . . . . BELANDA nampaknya BERHASIL sampai sekarang dimana masih terlihat adanya RASA DENDAM yang membara pada sebagian etnis suku JAWA dan SUNDA. Sebuah tantangan bagi para sejarahwan dan juga para sineast kita untuk berani mengangkat kissah ini secara super colosal ke layar lebar dan bukan tak mungkin bila dibuat secara serius dan riset serta penelitian akurat yg mendalam dapat memenangkan penghargaan internasional, karena INTRIK-INTRIK POLITIK dan KEMANUSIAAN yang dikisahkan didalamnya, dapat ditampilkan secara utuh serta masih relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana suatu peristiwa sejarah dipandang dari masing-masing sudut yang bersebelahan dan dipergunakan untuk kepentingan salah satu pihak.

Inilah Kontroversi itu ;

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

LATAR BELAKANG

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara

Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran

Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.. Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.

Hayam Wuruk
Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.

Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung

Dyah Pitaloka
Sundayana, Timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai..  Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.. Gajah Mada mendesak, Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. 


Paduka Sri Baduga
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya.

Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit.

Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu.

Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

AKIBAT YANG TIMBUL AKIBAT TRAGEDI PERANG BUBAT

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.

Gajah Mada
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.  Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.  Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.  Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan.

Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.  Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.  Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda.  Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.

Diatas adalah kissah sejarah selama ini yang kita kenal atau kalau boleh dikatakan itu adalah versi dari “PIHAK SUNDA”. Lalu bagaimana dengan versi “PIHAK JAWA” atau dalam hal ini adalah versi “GAJAHMADA” ? Inilah bagian yang menarik yang mungkin belum atau luput dari perhatian kita, namun semuanya bersumber dari beberapa kenyataan yang ada atau berdasarkan nalar manusia.

Berulangkali memang "KECELAKAAN POLITIK" ini timbul dan tenggelam mencari jatidirinya atas suatu kejadian suram di tanah WILWATIKTA. PASUNDAN BUBAT, yang tetap kelam sampai detik ini dan mungkin sampai semua pihak PUNYA KESADARAN POLITIS yang cukup guna memahaminya.

PASUNDAN BUBAT telah mengorbankan sebagai kambing hitam : MAHAPATIH AMANGKUBHUMI RI WILWATIKTA : MPU GAJAHMADA sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kejadiannya. Bagi mereka yang tahu atau anak keturunan yang mendapat ceritanya secara turun temurun, jawabannya adalah : TIDAK WALAUPUN IYA.

Seekor MACAN PELIHARAAN YANG PALING GANAS sekalipun semacam GAJAHMADA akan BERPIKIR ratusan kali kalau hendak MEMBUAT ULAH didepan tuannya (karena lokasi kejadian di lapangan Bubat yang cukup dekat dari Ibukota) yang sangat perkasa : NAWAPRABHU RI WILWATIKTA (Sembilan Raja penentu Kebijakan di WILWATIKTA). Maka LOGIKA dasarnya, tentu ada PERSETUJUAN atau PERINTAH dari beberapa Raja Penguasa Wilwatikta untuk mengambil langkah tegas itu.

KRONOLOGIS PRA-PERANG BUBAT VERSI JAWA ;

Saat semua persiapan pernikahan hendak dijalani, datang utusan dari pihak Pasundan yang menyerahkan surat kepada GAJAHMADA sebagai syarat atau mas kawin dari perkawinan itu. Ada 5 butir permintaan yang dicantumkan pada surat untuk DYAH RAJASANAGARA (HAYAMWURUK) melalui GAJAHMADA selaku pimpinan protokoler perkawinan.

KESATU : Meminta calon istri dari Tatar Pasundan diangkat menjadi Permaisuri.  
KEDUA : Meminta Raja RAJASANAGARA tidak mengambil istri lagi selain DYAH PITALOKA.
KETIGA : Meminta anak keturunan hasil perkawinan keduanya baik itu lelaki ataupun perempuan menjadi pewaris sah tahta WILWATIKTA, tetapi bila tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti Raja harus dipilih atas persetujuan Kerajaan Pasundan.
KEEMPAT : Meminta agar Kerajaan Pasundan tidak dijadikan bawahan dan mempunyai derajat yang sama tingginya dengan Kerajaan WILWATIKTA.
KELIMA : Meminta RANI KAHURIPAN : SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI (ibu dari Raja HAYAMWURUK sekaligus Rani WILWATIKTA pendahulunya) untuk menjemput pengantin wanita dan menandatangani persetujuan tersebut diatas di tenda Kerajaan pasundan di lapangan Bubat.

Tertegun hebat sang GAJAHMADA mendapat permintaan mendesak di waktu yang mendesak pula, bergegas dibawalah surat itu kehadapan BHRE KAHURIPAN (karena ada beberapa hal menyangkut kekuasaan dan wibawa sang Rani). Merah padam wajah sang Rani membaca surat tersebut, karena semua permintaan dirasa sangatlah memberatkan pihak WILWATIKTA. Betapa tidak, ini seakan menjerat langkah kaki kebesaran WILWATIKTA dan menyandera masa depan kerajaan diatas sebuah perkawinan. Karena jauh-jauh hari sebelumnya sudah dideklarasikan kepada segenap rakyat, bahwa untuk menjaga kemurnian trah RAJASA, sang raja telah dijodohkan dengan sepupunya (anak dari adik beliau : DYAH WIYAT RAJADEWI). Dan anak keturunan dari keduanyalah yang akan dijadikan penerus tahta. Maka siapapun dan darimanapun istri2 raja lainnya selain Prameswari tadi tidak diijinkan menggugat masalah tahta seberapapun banyaknya anak hasil perkawinannya.

Sedangkan untuk DYAH PITALOKA akan diperlakukan khusus karena berdarah sama dengan SANGRAMAWIJAYA, akan dianugrahi posisi pendamping Prameswari tetapi bukan Prameswari itu sendiri. Dari situ saja syarat Ke-1 sampai Ke-3 sebetulnya sudah gugur, tetapi yang KELIMA adalah yang dianggap menghina keluarga. Ini karena Rani Kahuripan yang sekaligus ibu dan bekas Rani WILWATIKTA harus datang menandatangani sebuah perjanjian yang bukan murni tanggung jawabnya, entah itu akan dijadikan jaminan atau memang bertujuan merendahkan martabat sang Rani yang dikenal sebagai penakluk nusantara (kenapa harus sang Rani, padahal ada suaminya dan GAJAHMADA yang ditunjuk resmi negara sebagai dutaparakrama).

Belum lagi bayangan kelam masa lalu, ketika ayahandanya NARARYA SANGRAMAWIJAYA di usir dari Tatar Sunda oleh kerabat istana setelah kematian ayahandanya, sehingga harus pulang bersama ibundanya ke tanah Singhasari, dan sekarang mereka mengincar tahta WILWATIKTA. Bergegas sang Rani KAHURIPAN mengganti busana, bukan busana untuk berpesta tetapi busana perang (beliau dikenal pula sebagai satu2nya Rani Rajasawangsa yang sering turun ke medan pertempuran memadamkan pemberontakan). Maklum sudah sang GAJAHMADA tentang langkah apa yang harus diambil, meminta keluarga untuk menahan sang Rani dan dia bergegas memberi hormat, menyampaikan paham akan langkah apa yang harus diambil lalu keluar berkonsolidasi dengan keamanan ibukota. GAJAHMADA sendiri yang datang ke lapangan Bubat menyampaikan seluruh penolakan Rani Kahuripan atas syarat yang diajukan.

Terkejut bukan kepalang sang DYAH PITALOKA, karena tidak ada syarat seperti itu diajukan oleh dirinya dan dalam pertemuan itu merasa marah dan malu akan perbuatan keluarganya yang mengajukan syarat berlebihan. Dia memohon maaf kepada GAJAHMADA dan memutuskan hendak pulang bersama rombongan pengiringnya dan bersumpah tidak akan menikah selamanya. Tetapi keinginan pulang dihadang oleh beberapa kerabatnya, mereka merasa sudah terlanjur basah maka semuanya harus keinginan harus dipertahankan demi kebaikan Kerajaan Pasundan.

GAJAHMADA merasa ini adalah masalah keluarga, maka dia keluar tenda sambil mengatakan SIAP MENGHANTAR DENGAN AMAN SELURUH ROMBONGAN UNTUK PULANG HINGGA MUARA SUNGAI BRANTAS. GAJAHMADA menunggu di luar tenda, sampai kemudian ada jeritan dari sang DYAH PITALOKA. Merangsek masuk sang Mahapatih tetapi telah mendapati sang calon pengantin rebah bersimbah darah tertancap pusaka perutnya, murka sang Amurwabhumi melihat kejahatan terjadi di depan matanya ..... berteriak lantang agar yang bertanggung jawab menyerahkan diri dan diadili sesuai hukum KUTARAMANAWA Dharmasastra atau memilih mati di tangannya.

Bukan jawaban baik2 yang di dapat, bahkan teriakan kalap orang2 di dalam tenda menyalahkan GAJAHMADA atas kejadian ini. Sebagian malah keluar tenda berteriak-teriak kalau sang Mahapatih telah membunuh calon pengantin perempuan. GAJAHMADA bukan anak kemarin sore yang mudah dijebak begitu saja, sejak keberangkatan dari puri kepatihan telah menyiapkan pasukan pengawal kasat mata di sekelilingnya, menyiapkan pasukan laut mengepung kapal para tamu ..... dan perhitungannya benar2 terjadi.

Tanpa menunggu komando lagi para pengawal bergegas membentuk formasi perlindungan pada sang Mahapatih, panah api dilepas kelangit memberi tanda seluruh kekuatan ibukota untuk waspada. SUNDANG MAJAPAHIT (ilmu beladiri yang menggunakan pedang dan keris, saat ini dilestarikan kaum Moro Philipina sebagai KALI MAJAPAHIT) rupanya bukan tandingan tentara Pasundan. Dalam sekejab deretan tenda telah berubah menjadi palagan dan semua kapal yang berlabuh ditenggelamkan. Sang Amurwabhumi kali ini tidak memberikan ampun kepada lawan-lawannya, semua ksatrya harus dibabat habis dan hanya menyisakan rombongan abdi kerajaan yang tidak paham ilmu berperang. Dentuman meriam kapal Majapahit menghajar semua kapal Pasundan dan menenggelamkannya. Asap hitam membumbung tinggi, nampak dari pendapa istana mengagetkan sang Raja. Itu lokasi BUBAT tempat calon istrinya berada, ketika meminta pengawal menyiapkan kuda, ibunya sudah hadir tepat di depannya mengatakan : GAJAHMADA sudah menyelesaikan semuanya.

Menyelesaikan bagaimana ??? ... tanya beliau, ibundanya menjawab : Menghantar rombongan pulang ke Pusandan, tetapi bila mereka melawan akan di bumi hanguskan. Tertegun sang Prabhunata, ibundanya menimpali : Karena mereka meminta mas kawin mahkota yang ada di kepalamu, dan saat ini GAJAHMADA sedang berjuang agar itu tetap berada di kepalamu. Tak paham juga atas perkataan ibundanya sang Nata gelisah dan tetap menyiapkan kuda hendak keluar istana, disodorkan sebuah surat berwarna biru oleh ibundanya. Setelah sejenak membaca, lemas lututnya dan ambruk di lantai istana. Beliau tahu batas-batas hukum sebuah diplomasi antar negara dan kali ini juga paham resiko yang muncul atasnya, bingung harus berbuat apa .... inginkan sang DYAH PITALOKA sekaligus inginkan sang Amurwabhumi

GAJAHMADA bukanlah sebuah pilihan. Beban berat sekonyong-konyong telah membuat rebah tak sadarkan diri dan harus sakit sampai beberapa lama kemudian. Beberapa bulan kemudian .... sidang NAWAPRABHU RI WILWATIKTA. Semua kejadian harus tunduk atas hukum dari satu perbuatan, atas banyaknya permintaan mancanegara atas keadilan peristiwa PASUNDAN BUBAT digelarlah sidang tersebut. Didepan sidang sang GAJAHMADA dengan gamblang menjelaskan kronologi peristiwa hingga selesainya. Sebagai pelaku utama bersedia menerima hukuman termasuk kalau harus mati sekalipun. Pengambilan suara senantiasa didahului oleh SAPTAPRABHU (1 Raja utama dan 6 Bhre / Raja Bawahan), tiba-tiba berdiri ibu sang Raja, Rani Kahuripan (SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNU WARDHANI) :
saya yang memerintahkan, maka sayalah yang harus dihukum disusul ayahanda Raja yang juga menjabat Bhre Tumapel (SRI KERTAWARDHANA DYAH CAKRADARA), juga bibi Raja Bhre Daha (SRI RAJADEWI MAHARAJASA): Dia berbuat karena membela keluargaku dan Trah Rajasa .... aku juga akan mengambil tanggung jawabnya, suaminya Bhre Wengker (SRI WIJAYARAJASA DYAH KUDAMERTA).
Cukup sudah empat melawan tiga yang tidak mengambil keputusan (abstain), kemudian semuanya keluar meninggalkan dua penentu utama PANEMBAHAN WILIS dan PANEMBAHAN PAWITRAN (PENANGGUNGAN). Ini harus diputuskan dengan bijak, tidak baik membiarkan perlakuan pembebasan hukuman karena dukungan para raja atas peristiwa ini walaupun dengan alasan yang benar. maka aku akan menjatuhkan hukuman atasnya, kata Panembahan Pawitran. Panembahan Wilis berulangkali menarik nafas panjang, kemudian berkata : seorang ksatria memang tahunya adalah perang apalagi kalau itu berkaitan erat dengan harga diri negara, rasanya hamba kurang bijak memutuskan hal ini, lebih baik paduka saja. Dan Panembahan Pawitran pun akhirnya memutuskan, bahwa alasan yang menjadi dasar tindakan dapat dibenarkan tetapi tata krama ibukota dan pemerintahan dimana seharusnya tindakan yang akan diambil harus sepengetahuan raja telah dilanggar.

Hukuman yang dikenakan adalah pencopotan jabatan dan pengasingan yang bersangkutan ke daerah terpencil di LUMBANG (wilayah Probolinggo dekat air terjun Madakaripura) selama 1.000 hari. Keputusan dipahami semua pihak dan eksekusi dijalankan. Maka dicopotlah jabatan Sang MAHAPATIH AMURWABHUMI dari pundak GAJAHMADA dan menjalani hukuman buang, semua sedih karena harus tinggal berjauhan tidak kecuali sang Raja yang telah menganggap sang GAJAHMADA adalah ayah angkatnya. Tapi hukum tetap ditegakkan dan semua dijalankan. Tepat 1.000 hari dari masa pengasingan, atas perintah raja GAJAHMADA di jemput dengan rombongan besar di LUMBANG, jabatannya diaktifkan kembali sebagai Mahapatih Amurwabhumi dan ditugaskan pertama kali setelah kembali adalah mengawal perjalanan raja tetirah ke Lumajang sesuai yang tersurat di Lontar Desawarnana / Negarakretagama.

Jadi Siapa Yang Hendak Kita Salahkan Atas Peristiwa Ini ???,
Karena Pihak Wilwatikta Maupun Pihak Pasundan Sedang Menjalankan Masing2 Dharma Terbaiknya Bagi Kepentingan Kerajaannya.
TAPI, ini semua belum selesai, baca PERANG BUBAT : ROMANTISME SEJARAH YANG DISELEWENGKAN

Tidak ada komentar: