Rabu, 21 Oktober 2015

Tekanan Belanda Atas Naik Haji

Untuk mengawali usaha monopoli ibadah haji maka pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah putusan terkait prosesi ibadah haji untuk pertama kalinya, “pihak kolonial kemudian berupaya menekan jamaah haji dengan mengeluarkan RESOLUSI (PUTUSAN) 1825. Peraturan ini diharapkan tidak hanya MEMBERATKAN JAMAAH DALAM HAL BIAYA tetapi sekaligus dapat MEMONITOR AKTIVITAS MEREKA DALAM MELAKSANAKAN RITUAL IBADAH HAJI DAN KEGIATAN LAINNYA SELAMA BERMUKIM DISANA”. 

Walaupun dengan biaya yang begitu mahal, jamaah haji tidak mendapatkan fasilitas yang memadai dalam prosesi ibadah haji, “persaingan maskapai kapal Belanda (KPM) yang disebut dngan istilah kongsi tiga dengan maskapai kapal Inggris, Arab, dan Singapura, namun pada umumnya maskapai tidak ada yang mengutamakan kesehatan.

Praktek makelar atau percaloan ibadah haji tidak hanya semakin banyak terjadi beberapa tahun terakhir ini. Ternyata di Kota Cilegon praktek percaloan haji itu sudah terjadi sejak jaman kolonial Belanda dulu. Diceritakan pada tahun 1893 pada jaman kolonial Belanda, sekelompok warga Cilegon, “BERKOEMPOEL” mela- yangkan surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal “kongkolikong” Johanes Gregorius Marinus Herklots, bos agen perjalanan haji “The Java Agency” dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Kongkolikong itu untuk menjaring jamaah haji asal Cilegon dan sekitarnya sebanyak-banyaknya. Perusahaan agen haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya pejabat beserta keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah. Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat di Cilegon pada waktu itu memakai kekuasaannya untuk memaksa rakyat yang hendak pergi haji agar menggunakan perusahaan Herklots. Jika tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas-nya (semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah. Dengan kongkolikong macam itu pada musim haji tahun 1893, Herklots berhasil menjaring banyak jemaah haji dari Cilegon. (historia. co.id) 

Perkembangan hubungan dengan Timur Tengah dan semakin banyaknya jumlah haji setelah menggunakan kapal uap memengaruhi perkembangan di Indonesia. Hal inilah yang membuat Belanda menempatkan konsulnya di Jeddah dan kemudian menjadi Kedutaan. Disamping selama naik haji di Mekah para Jemaah Indonesia diharuskan lapor ke Konsulat Belanda disana (Yg mau tak mau harus dibuka konsulat oleh Belanda disana) para jemaah juga sebelum dan sesudah naik haji di KARANTINA di Pulau Onrust (Pulau Seribu). Ini dibuat agar Belanda dapat mendata para jemaah yang nantinya dikawatirkan belanda menjadi “EKSTRIMIS” (Lihat foto-foto yang terlampir disini)



NAIK HAJI TEMPO DOELOE – SEJAK 1880

Bagi umat Islam di Indonesia, keinginan menunaikan rukun Islam ini tidak terbendung, termasuk di masa-masa penjajahan. Menunaikan ibadah haji makin besar jumlahnya, terutama sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan disusul dengan adanya kapal uap. Berdasarkan laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda ; pada 1878 (dengan kapal layar) jamaah haji Indonesia sekitar 5.331 orang. Setahun kemudian (1880), menjadi 9.542 jamaah atau naik hampir dua kali lipat. Pada 1921 sebanyak 28.795 jamaah indonesia dari 60.786 jamaah seluruh dunia yang pergi menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat resesi ekonomi pada 1928 jamaah haji Indonesia justru meningkat menjadi 28.952 dari 52.412 jamaah seluruh dunia. Masih dalam krisis ekonomi global (1931, 1932, dan 1932) jamaah haji Indonesia justru berjumlah di atas 39 ribu orang. 

Untuk membuktikan pergi haji telah dilakukan selama berabad-abad lalu dapat kita lihat dari banyaknya mukimin yang menjadi syekh ketika sistem ini diberlakukan dan baru berakhir pada 1980-an. Di antara keturunan mereka ada yang memegang jabatan penting di Arab Saudi. Pada 1974, kebanyakan mereka tidak lagi pandai berbahasa Indonesia.

Ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini. Konon, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar.

Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.. Saat bisa meninggalkan Indonesia, mereka singgah di Singapura atau Penang (Malaysia). Di tempat tersebut, umat Islam Indonesia yang ingin berhaji ini rela menjadi pekerja kasar. Ada yang menjadi tukang kebun, menggarap sawah, dan lainnya demi satu tujuan, yaitu berkunjung ke Baitullah.  Oleh sebab itulah sebagaimana dikemukan diatas, karena beratnya menunaikan ibadah haji mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci. 

Lebih Lanjut Baca - Sejarah Perhajian Di Nusantara
Lebih Lanjut Baca - Kafilah Haji Dunia Abad Ke-13
Lebih Lanjut Baca - Per-Haji-an Sejak 1880
Lebih Lanjut Baca - Asal Gelar Haji Di Indonesia

Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)



Tidak ada komentar: