PENGHARGAAN YANG DIBERIKAN BAGI MEREKA YANG MEMPERTARUHKAN JIWA dan RAGA UNTUK MELAKSA- NAKAN RUKUN HAJI di MEKAH ;
Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya.
Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal
perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas
kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan
kembali lagi.Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti
bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima
ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam
masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya.
Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia. Tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.
Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia. Tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.
GELAR PARA RAJA
; Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar
untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi
posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu
Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti.
Sebagai contoh, legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal mula
peradaban dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna "Raja
Permulaan". Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu
Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi
saat di nobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh bergelar Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pakuan
adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran.
PEMBERIAN IDENTITAS OLEH KOLONIAL BELANDA ; Tak
hanya Raffles, VOC juga memiliki pandangan serupa, meski sangat
didasari kepentingan ekonomi. Tahun 1664, mereka melarang tiga orang
Bugis yang baru pulang dari Mekkah untuk mendarat di Hindia Belanda. VOC
beralasan, "kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang
percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius."
Kesan negatif tentang haji itu sebagian didasarkan pada persepsi
kolonial terhadap orang-orang Arab, yang justru memperoleh penghormatan
tinggi dari kaum Muslim di Nusantara. Raffles, dalam sebuah laporan dari
Malaka bertanggal 10 Juni 1811, menulis bahwa orang Arab dengan dalih
mengajar orang-orang Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muhammad,
menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran.
Pandangan Raffles pada gilirannya berperan penting dalam membentuk imaji kolonial tentang Islam dan kaum Muslim. Bersama sejumlah sarjana Inggris lain, seperti William Marsden dan J. Crawfurd, Raffles memelopori studi-studi serius tentang Islam. Gambaran Raffles tentang bahaya politik haji tetap utuh, bahkan menjadi salah satu perhatian kolonial yang utama tentang Muslim Hindia Belanda. "Haji dianggap sebagai sarana di mana spirit pemberontakan menjadi sumber imajinasi keagamaan para haji dari Nusantara," tambah Michael F. Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Wind. Ketakutan Raffles dan pemerintah kolonial secara umum menunjukkan kuatnya pengaruh haji dalam transformasi sosioreligi masyarakat Hindia Belanda.
Pandangan Raffles pada gilirannya berperan penting dalam membentuk imaji kolonial tentang Islam dan kaum Muslim. Bersama sejumlah sarjana Inggris lain, seperti William Marsden dan J. Crawfurd, Raffles memelopori studi-studi serius tentang Islam. Gambaran Raffles tentang bahaya politik haji tetap utuh, bahkan menjadi salah satu perhatian kolonial yang utama tentang Muslim Hindia Belanda. "Haji dianggap sebagai sarana di mana spirit pemberontakan menjadi sumber imajinasi keagamaan para haji dari Nusantara," tambah Michael F. Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Wind. Ketakutan Raffles dan pemerintah kolonial secara umum menunjukkan kuatnya pengaruh haji dalam transformasi sosioreligi masyarakat Hindia Belanda.
Dalam
konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering
disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, dan sempat digunakan
pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah haji yang
mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai
sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut
oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”. Dilatar
belakangi oleh gelombang propaganda anti VOC pada 1670-an di Banten,
ketika banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya
dengan memakai pakaian Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran
Diponegoro serta Imam Bonjol yang terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang
haji, pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan POLITIK ISLAM, yaitu
sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara
pada masa itu. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda
Staatsblad tahun 1903.
Maka
sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk
pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir
dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun
asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah
tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga
pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
Onrust.
Salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, 14 km dari
Jakarta. Pulau yang semula luasnya 12 ha kini tinggal 7,5 ha akibat
abrasi. Mendatangi pulau yang dijadikan taman arkeologi itu dapat
dilakukan melalui 3 pelabuhan: Marina Ancol, Angke, dan Muara Kamal.
Yang paling dekat melalui pelabuhan Muara Kamal. Dengan menggunakan
perahu tradisional dicapai dalam waktu 10 - 15 menit. Maklum, Onrust
yang dalam Belanda berarti 'tanpa istirahat' ini, kawasan Kepulauan
Seribu yang terdekat dengan pantai Jakarta.
Kisah Onrust dimulai pada awal abad ke-20, ketika terjadi wabah pes di Malang, Jawa Timur, yang semula diduga berasal dari kapal yang membawa jamaah haji dari tanah suci. Ternyata wabah akibat tikus ini berasal dari kapal yang mengangkut beras dari Rangon (kini Yangon), Birma (kini Myammar). Tapi, bagaimana pun Belanda tetap ingin mengkarantina para jamaah haji sepulang mereka dari tanah suci. Dan Onrust yang dianggap sebagai pulau terpencil dipilih sebagai tempat itu.Selama karantina mereka harus tinggal di pulau ini selama lima hari. masih berdiri kokoh hanya sebuah rumah yang dulu digunakan untuk para dokter karantina haji.
Basirun Prawiroatmodjo, yang menjadi jurutulis karantina haji di tahun 1919 dan bertugas di pulau ini hingga 1958, ketika diwawancarai Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengemukakan, para haji yang pulang dari tanah suci pertama kali turun di Pulau Cipir yang bersebelahan dengan Onrust. Para jamaah dicek oleh dua orang petugas. Usai pemeriksaan, para haji itu harus menanggalkan seluruh pakaiannya, diganti dengan pakaian karantina. kemudian mereka ipersilahkan mandi dan diperiksa oleh seorang dokter. Bila ada yang membawa bibit penyakit menular diharuskan tinggal di stasiun karantina di Pulau Cipir. Karantina ini dibangun bersamaan dengan karantina di Pulau Onrust (1911). Selama pemeriksaan kesehatan, pakaian pribadi serta kapal pengangkut difumigasi. Para jamaah yang dinyatakan sehat kemudian dibawa ke Onrust. Mereka naik eretan (getek) dari ujung dermaga Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Eretan ini hanya dapat menampung 8-10 orang. Menaikinya cukup berbahaya lebih-lebih bila air pasang. Tapi, sejauh ini tidak ada laporan pernah terjadi kecelakaan seperti terseret gelombang saat menaikinya. Setiba di Onrust dari Cipir, para jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya oleh seorang dokter. Terdapat pula enam orang petugas bangsa Belanda yang turut menangani jamaah haji. Mereka hanya berada di Onrust saat-saat musim haji .(republika.co.id, jakarta )
Dalam berbagai buku sejarah Islam, sampai akhir abad ke-19 banyak terjadi perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Misalnya, kegaduhan di desa-desa sering dilakukan para ulama yang banyak di antaranya adalah haji. Belanda melihat kegaduhan ini dengan mempertimbangkan kepentingan kekuasaannya di Indonesia, sehingga mereka menganggap para haji SEBAGAI ORANG-ORANG FANATIK dan pemberontakan. Sejak lama, masyarakat Belanda di Indonesia takut terhadap tarekat yang berkembang di Indonesia dan dibawa oleh para haji. Apalagi, pada akhir abad ke-19, mukimin Indonesia termasuk yang jumlahnya besar dan banyak di Tanah Suci.
Kehawatiran semacam ini tampak jelas pada;
Kisah Onrust dimulai pada awal abad ke-20, ketika terjadi wabah pes di Malang, Jawa Timur, yang semula diduga berasal dari kapal yang membawa jamaah haji dari tanah suci. Ternyata wabah akibat tikus ini berasal dari kapal yang mengangkut beras dari Rangon (kini Yangon), Birma (kini Myammar). Tapi, bagaimana pun Belanda tetap ingin mengkarantina para jamaah haji sepulang mereka dari tanah suci. Dan Onrust yang dianggap sebagai pulau terpencil dipilih sebagai tempat itu.Selama karantina mereka harus tinggal di pulau ini selama lima hari. masih berdiri kokoh hanya sebuah rumah yang dulu digunakan untuk para dokter karantina haji.
Basirun Prawiroatmodjo, yang menjadi jurutulis karantina haji di tahun 1919 dan bertugas di pulau ini hingga 1958, ketika diwawancarai Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengemukakan, para haji yang pulang dari tanah suci pertama kali turun di Pulau Cipir yang bersebelahan dengan Onrust. Para jamaah dicek oleh dua orang petugas. Usai pemeriksaan, para haji itu harus menanggalkan seluruh pakaiannya, diganti dengan pakaian karantina. kemudian mereka ipersilahkan mandi dan diperiksa oleh seorang dokter. Bila ada yang membawa bibit penyakit menular diharuskan tinggal di stasiun karantina di Pulau Cipir. Karantina ini dibangun bersamaan dengan karantina di Pulau Onrust (1911). Selama pemeriksaan kesehatan, pakaian pribadi serta kapal pengangkut difumigasi. Para jamaah yang dinyatakan sehat kemudian dibawa ke Onrust. Mereka naik eretan (getek) dari ujung dermaga Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Eretan ini hanya dapat menampung 8-10 orang. Menaikinya cukup berbahaya lebih-lebih bila air pasang. Tapi, sejauh ini tidak ada laporan pernah terjadi kecelakaan seperti terseret gelombang saat menaikinya. Setiba di Onrust dari Cipir, para jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya oleh seorang dokter. Terdapat pula enam orang petugas bangsa Belanda yang turut menangani jamaah haji. Mereka hanya berada di Onrust saat-saat musim haji .(republika.co.id, jakarta )
Dalam berbagai buku sejarah Islam, sampai akhir abad ke-19 banyak terjadi perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Misalnya, kegaduhan di desa-desa sering dilakukan para ulama yang banyak di antaranya adalah haji. Belanda melihat kegaduhan ini dengan mempertimbangkan kepentingan kekuasaannya di Indonesia, sehingga mereka menganggap para haji SEBAGAI ORANG-ORANG FANATIK dan pemberontakan. Sejak lama, masyarakat Belanda di Indonesia takut terhadap tarekat yang berkembang di Indonesia dan dibawa oleh para haji. Apalagi, pada akhir abad ke-19, mukimin Indonesia termasuk yang jumlahnya besar dan banyak di Tanah Suci.
Kehawatiran semacam ini tampak jelas pada;
- peristiwa Cianjur (1883), Cilegon (1888), dan
- Garut (1919). Dalam peristiwa pemberontakan Garut, Sarikat Islam yang baru diresmikan HOS Tjokroaminoto dituduh terlibat.
- Pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Tambun (Bekasi) dan
- Tangerang pada 1924. Pemberontakan di Tangerang dipelopori sejumlah tokoh di Desa Pangkalan
- Tangerang. Tokoh-tokoh itu berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan ucapan Allahu Akbar
Oleh sebab itu Belanda
menganggap, gerakan tarekat merupakan bahaya yang berasal dari Gerakan
Pan Islam. Gerakan itu dianggap bahaya dari luar. Kala itu, banyak
keturunan Arab di Indonesia yang meneruskan gerakan Pan Islam, seperti
tokoh-tokoh Said Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammadd Abduh, dan Sayid
Rayid Ridha.“Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin
meningkatlah fanatisme (Keislaman).” Koran De Locomotief, 1877. Untuk
dapat memantau gerakan-gerakan tersebut maka pemerintah kolonial Belanda
memberikan Gelar bagi mereka yg pulang naik haji dengan sebutan HAJI.
Gak beda kali ya dengan pengikut / tertuduh / tersangka anggota PKI yang ditahan atau diasingkan dan setelah dibebaskan oleh ORBA / SUHARTO di KTP-nya di beri cap TAPOL
KONTROVERSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun. Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya. Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.
Lebih Lanjut Baca - Tekanan Belanda Atas Naik Haji
Lebih Lanjut Baca - Sejarah Perhajian Di Nusantara
Lebih Lanjut Baca - Kafilah Haji Dunia Abad Ke-13
Lebih Lanjut Baca - Per-Haji-an Sejak 1880
Wallahu a’lam bish-shawab
Gak beda kali ya dengan pengikut / tertuduh / tersangka anggota PKI yang ditahan atau diasingkan dan setelah dibebaskan oleh ORBA / SUHARTO di KTP-nya di beri cap TAPOL
KONTROVERSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun. Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya. Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.
Lebih Lanjut Baca - Tekanan Belanda Atas Naik Haji
Lebih Lanjut Baca - Sejarah Perhajian Di Nusantara
Lebih Lanjut Baca - Kafilah Haji Dunia Abad Ke-13
Lebih Lanjut Baca - Per-Haji-an Sejak 1880
Wallahu a’lam bish-shawab
“Dan Allah Mahatahu yang benar/sebenarnya”
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)
(dihimpun dari berbagai sumber – rully hasibuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar