Diantara tugas dan kegemaran, Bali menjadi ruang yang khusus bagi Presiden Sukarno. Salah satu kekhususan tersebut adalah hubungan antara dia dan Le Mayeur, pelukis dari Belgia yang datang ke Bali sejak 1929. Karya-karya Le Mayeur sendiri
kini menjadi benda yang memiliki nilai tinggi. Kekayaan budaya dan sejarah panjang inilah yang juga turut menjadi perhatian Bung Karno sebagai pemimpin bangsa terhadap Bali. Bung Karno tidak serta merta mengetahui sejarah seni rupa Bali begitu saja, meskipun ia keturunan orang Bali. Menurut penuturan Guruh Sukarno Putra kemampuan dan pengetahuan mengenai Bali salah satunya disumbang oleh rekannya yang juga pecinta seni rupa dan yang pernah diangkat sebagai perdana menterinya, Ali Sastroami djojo dan sejarawan Poebatjaraka.
kini menjadi benda yang memiliki nilai tinggi. Kekayaan budaya dan sejarah panjang inilah yang juga turut menjadi perhatian Bung Karno sebagai pemimpin bangsa terhadap Bali. Bung Karno tidak serta merta mengetahui sejarah seni rupa Bali begitu saja, meskipun ia keturunan orang Bali. Menurut penuturan Guruh Sukarno Putra kemampuan dan pengetahuan mengenai Bali salah satunya disumbang oleh rekannya yang juga pecinta seni rupa dan yang pernah diangkat sebagai perdana menterinya, Ali Sastroami djojo dan sejarawan Poebatjaraka.
Sastroamidjojo-lah yang lebih dahulu mengoleksi hasil-hasil budaya Bali. Sangat mungkin dari Sastroamidjojo pulalah beberapa hasil budaya Bali berada di tangan Bung Karno, termasuk beberapa buku mengenai budaya Bali diperoleh darinya. Setelah mengoleksi sejumlah puluhan karya seni lukis dan patung Bali, Bung Karno lalu mendapat “hadiah” dari pemerintah Republik Rakyat Tiongkok berupa penerbitan buku yang disusun oleh Dullah. Dalam buku yang berjudul Lukisan-Lukisan Koleksi Ir. Dr. Sukarno (empat volume, 1956 dan 1959) dan Ukiran-Ukiran Rakjat Indonesia (1959) inilah banyak karya seni rupa Bali dimuat.
Melacak pengetahuan Sukarno mengenai seni rupa Bali tidak bisa dilepaskan dari buku-buku yang dimilikinya. Ketika meneliti langsung ke perpustakaan Istana Presiden Bogor, saya menjumpai beberapa buku mengenai Bali. Dua buku diantaranya adalah karangan Miguel Covarrubias, Island of Bali (1937) dan R. Goris & P.L. Drongkers, Bali: Atlas Kebudayaan (1953). Pada dua buku inilah Sukarno memiliki sandaran pengetahuan tentang Bali secara berlimpah ditambah dengan diskusi bersama rekan-rekan seniman maupun pecinta seni lainnya. Sukarno juga tidak melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke studio-studio pelukis.
Berkunjung ke Bali bagi Sukarno bukan saja terasa sebagai kunjungan yang bersifat formal, akan tetapi Sukarno merasa seperti kembali ke rumah. Ingat bahwa Sukarno merupakan anak dari Ida Ayu Srimben, perempuan asli Bali. Kunjungannya sebagai presiden ke Bali telah dimulai sejak 1950. Berbagai keperluan dilakukannya, salah satunya ketika bertemu dengan para pelukis asing yang telah lama tinggal di Bali, seperti Rudolf Bonnet dan Le Mayeur. Selain Bonnet dan Le Mayeur, Sukarno juga pernah berhubungan dan membeli karya Renato Cristiano, Auke Sonega, Hans Snel, Antonio Blanco, dan Theo Meier.
Antara 15-17 Juni 1950 bersama tamu negara, yang juga rekan dekatnya, Pandit Jawaharlal Nehru, Sukarno mengunjunginya. Pada pertemuan ini Bung Karno membawa rombongan sejumlah 40 mobil. Harian Chairns Post 16 Juni 1950 melaporkan bahwa Bung Karno menembus malam berkonvoi mengunjungi studio Le Mayeur. Pertemuan antara Sukarno dan Le Mayeur dilanjutkan atau terjadi pada bulan November 1950. Sebelum pertemuan bulan November ini Sukarno sempat berkirim surat bertulis tangan yang meminta bantuan Mayeur agar Dullah bisa belajar di studionya di Sanur. Surat Sukarno kepada Le Mayeur ini kini menjadi dokumentasi dan bagian dari sajian koleksi di Museum Pasifika Bali.
Dalam surat tersebut, Bung Karno menulis sebagai berikut.
“Jth Tuan Le Mayeur dan Njonjah di Sanur//Tuan dan Njonjah yang baik,//Pembawa surat ini adalah Dullah. Ia adalah seorang pelukis yang ternama dan jang berdiri dibawah patronage saja. Saja harap Tuan dan Njonjah suka memberi bantuan-bantuan petundjuk kepadanja, agar supaja ia dapat mempergunakan waktunja diBali ini dengan sebaik-baiknja.//Saja sendiri bermaksud datang di Bali nanti pada 10 November j.a.d., dan ingin sekali bertemu dengan Tuan dan Njonjah di sanur. Surat Tuan tempohari sudah saja terima, dan amat menggembirakan saja.//Terimalah salamku//Jakarta 30/09/1950”.
Dalam surat ini tersirat bahwa kedekatan antara Bung Karno dan Mayeur begitu erat. Melalui surat ini tergambar bahwa hubungan antara seorang presiden--sebagai penggemar lukisan--dengan pelukis tampak begitu saling menghormati, meskipun tampak masih formal. Kini, surat penting ini menjadi koleksi tetap pada Museum Pasifika di Nusa Dua, Bali. Jika Anda ke Bali, pastikan menonton surat ini. Dari hubungan ini Bung Karno “mendapatkan” 4 karya dari Le Mayeur. Semuanya didapatkan diantara beberapa kunjungan Sukarno ke studio Le Mayeur. Lukisan yang dikoleksi Sukarno berjudul Di Tepi Sungai Gangga (1921) sebuah karya berbasis cat air pada kertas dan tiga lukisan cat minyak berukuran “kembar” 150x200 cm berjudul Bermain di Kolam (1950an) dan Kenikmatan Hidup I dan II (dua lukisan berjudul yang sama kemungkinan dikerjakan pada 1956). Semua lukisan ini masuk dalam Buku Koleksi versi Dullah edisi I & III.
Kunjungan Bung Karno ke Sanur sempat menjadi topik pembicaraan di internal mereka, antara Mayeur-Pollok. Mereka mengungkapkan perihal celana pendek yang selalu dipakai oleh Mayeur pada saat Bung Karno berkunjung pada tahun 1950 tersebut. Mayeur sendiri memang pelukis yang selalu tampil dengan celana pendek dan berbaju komprang. Dalam foto tampak Mayeur berjalan tanpa sandal alias telanjang kaki tengah bersama Bung Karno yang tampak gagah dan maskulin. Pollok akhirnya mengetahui bahwa Bung Karno tidak memasalahkan hal itu. Buktinya pada 22-26 November 1951 dan 1952 sang Presiden berkunjung lagi ke sana. Kedatangannya ke studio ini tertera pada dokumentasi foto yang diberikan oleh masyarakat Bali pada Bung Karno yang kini menjadi dokumentasi Istana Bogor. Tampak Sukarno masih dengan seragam formal dan peci kesayangannya tampil berwibawa di hadapan pasangan suami istri pelukis tersebut. Di satu sisi, Le Mayeur sendiri mengenakan baju bermotif bunga dengan celana pendek dan masih juga tanpa sandal atau sepatu, tampak akrab berbincang. Sementara, Ni Pollock dengan kebaya tradisi dengan pundak terbuka turut berbincang serius. Di belakang mereka berbincang, tampak delegasi dari pemerintahan turut mendengarkan. Suasana yang akrab beginilah yang tercipta dan dibuat oleh Sukarno. Kunjungan (kini istilah Jawa, blusukan) bukan lagi hal aneh dalam diri Presiden ini. hampir disetiap rumah perupa yang dikunjungi, Sukarno setidaknya telah berkeliling, sambil melihat karya-karya sang perupa.
Di lain waktu, terjadi kisah lain yang cukup menarik disimak. Menurut Ni Pollok ada dua lukisan Le Mayeur pernah dipinjam untuk menghias Istana Presiden Tampaksiring, guna menghormat tamu negara dari India. Tidak secara detail dijelaskan mengenai siapa tamu negara tersebut, tetapi kemungkinan besar adalah Nehru. Tidak diterangkan pula kapan dan lukisan yang mana yang dipinjamkan. Seusai kunjungan sang tamu selesai, lukisan itu belum juga dikembalikan. Sang Presiden rupanya berkenan dengan lukisan itu dan memerintahkan supaya dibeli saja, lewat perantara yang menemui Ni Pollok. Ni Pollok bingung, karena ia tak pernah (dan berjanji untuk tidak) menjual karya suaminya selamanya. Lama setelah dua lukisan tersebut dipinjam, Pollok bersikukuh dan tetap memintanya agar dikembalikan, berkali-kali. Ketika Sukarno--lewat perantara--memaksa Pollok memberi harga, Pollok berkata kepada sang perantara dan ditulis oleh Yati Miharja dalam bukunya sebagai berikut.
Bisakah aku memberi harga kepada seorang Kepala Negara? Kepada siapa pun juga aku tak akan menjualnya, aku telah berjanji dalam hati, tanda hormat, tanda cinta kepada suami, berapa aku harus menghargainya? Tak akan pernah! Tak akan pernah! Walau satu gunungan uang didirikan di depanku, rasa hormat dan cintaku kepada Boy (Le Mayeur) tak akan terbeli. Namun yang ingin memiliki lukisan itu Bapak Kepala Negara, bisakah aku menolak? Bisakah aku memberinya pengertian bahwa lukisan-lukisan itu ibarat sebagian dari jiwaku?
“Saya tidak bisa memberi harga ..., “kataku akhirnya setelah cape menimbang, “Tolong katakan saja kepada Pak Karno, berilah saya penggantinya berupa apa saja yang sekira bisa dipakai jaminan hidup ...”. Tahun berganti tahun, sampai tiba pergolakan karena rakyat tidak percaya lagi akan kepemimpinannya. Siapakah yang ingat kepada seorang perempuan yang amat merindukan kembalinya ke dua buah lukisan itu? Bahkan, siapakah yang ingat kepada kedua hasil karya suamiku yang tergantung di dinding Istana Tampaksiring itu? Tak ada seorang pun, kecuali aku!
Permintaan Pollok memang menguap begitu saja hingga kini. Sangat disayangkan Pollok tidak menjelaskan dua judul lukisan tersebut. Setidaknya dunia telah menakdirkan belahan jiwa Pollok itu yang secara fisik dimakamkan di Brussel, namun jiwanya ada di dalam Istana Tampaksiring yang dibangun oleh Sukarno itu. Dua “jiwa” Le Mayeur itu tenggelam dalam ketenangan sekaligus kegelisahan hati Ni Pollok yang dipendam selama 27 tahun, sebelum ia meninggal 1985.
Jauh di masa sebelumnya, di tahun 1956, atas usulan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan kala itu, Bahder Djohan, studio Le Mayeur diusulkan untuk dijadikan museum. Le Mayeur setuju. Tepat pada 1957, berdasarkan Akte Persembahan yang diresmikan pada Rabu 28 Agustus 1957 ditetapkan bahwa apabila Pollok meninggal dunia, semua peninggalan Pollok akan diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Sehari sebelumnya ditandatangani sebuah Akte Hadiah bahwa sepeninggal Mayeur semua harta diberikan pada Pollok. Sejumlah 92 karya diantaranya adalah karya Benares in the Morning dan Benares in the Evening (keduanya dibuat 1920-an); Oiled Sails at Bouganda; 28 lukisan pada bagor sebagai kanvas yang dibuat pada jaman Jepang akhirnya menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia.
Inilah sekelumit dari kunjungan Bung Karno sebagai penggemar seni ke Bali. Melalui salah satu kunjungan Bung Karno ke studio Le Mayeur kita dapat mengerti bahwa Bali memang tidak bisa dilepaskan dari peran perjuangan budaya yang dilakukan oleh Bung Karno, sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Museum Le Mayeur yang kini menjadi salah satu tujuan wisata Bali adalah saksi bisu yang amat penting bagi bangsa Indonesia. Museum ini adalah hasil hubungan intens antara Bung Karno dan Le Mayeur (serta Ni Pollok).
Kunjungannya di Bali tidak saja bersifat formal sebagai presiden, namun kadang juga sebagai kunjungan pribadi. Masih banyak kisah mengenai kunjungannya ke Bali dalam rangkaian kunjungan seninya. Kisah-kisah mereka ada yang berujung bahagia, ada pula yang berujung pada kesedihan. Semuanya terjadi pada awal dasawarsa 50 hingga dibangunnya Istana Presiden Tampaksiring, Bali, 1955-1957. Kunjungan Bung Karno ke Bali yang terkait dengan seni juga terjadi pada banyak perupa, baik perupa asing maupun lokal.
(Sumber ; http://mikkesusanto.jogjanews.com/presiden-sukarno-pelukis-le-mayeur-di-bali.html#sthash.bONcYDFw.dpuf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar